Penyelesaian Undang-Undang Pengadilan Tipikor berada pada masa kritis. Dalam hitungan minggu undang-undang itu harus selesai atau pemberantasan korupsi di negara ini bisa kembali macet.
Dewi Asmara, Ketua Panja RUU Pengadilan Tipikor menyatakan isi dari RUU yang sedang digodok timnya tidak memperlemah KPK seperti yang dituduhkan banyak pihak. Justru ia mengatakan bahwa eksistensi KPK masih kokoh sesuai dengan UU No 30 Tahun 2002. “RUU Pengadilan Tipikor hanya mengatur hal yang berkaitan dengan pengadilan (tipikor) dengan segala konsekuensi hukumnya dalam sistem peradilan Indonesia,” kata Dewi dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional dan hukumonline, Kamis (23/7) lalu, di Jakarta.
Menurut Dewi ada beberapa hal yang membuat penyusunan UU Pengadilan Tipikor terkesan alot. Pertama adalah pengaturan tentang eksistensi Pengadilan Tipikor dalam sistem peradilan indonesia.
Permasalahan soal komposisi hakim pun masih terus menjadi perdebatan. Khususnya mengenai kualitas dan kuantitas dari hakim ad hoc. ”Bukan hanya persoalan jumlah, tapi kita ingin tempatkan dulu kriterianya secara benar, baru bicara jumlah.”
Dewi juga menyebutkan beberapa hal lain yang masih belum bisa disepakati oleh tim panja. Antara lain seputar pengaturan dua lembaga penuntutan dalam hal ini jaksa pada Kejaksaan Agung dan jaksa pada KPK. Masalah tentang kewenangan penyadapan dan jangka waktu pemeriksaan perkara juga masih menjadi bahan perdebatan.
Selain itu masih ada kesulitan dalam menempatkan pengadilan tipikor sampai ke seluruh kabupaten. Menurutnya, hal ini dirasakan masih sulit karena dana dari negara, jarak dan Sumber Daya Manusia yang juga masih minim. ”Dengan adanya ini, kita mau menegakkan korupsi, maunya harusnya di seluruh kabupaten. Nanti kita bentuk apa regional dulu atau beberapa propinsi dulu, lalu nantinya seluruh propinsi. Tapi harus dipikirkan dahulu.”
Dewi juga beralasan bahwa DPR harus menyelaraskan dengan undang-undang lain yang nyatanya sekarang masih mengalami revisi juga di DPR. Seperti UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, ini penting karena kewenangan pengadilan tipikor kini ditambah dengan memeriksa tindak pidana pencucian uang. ”DPR harus ekstra hati-hati karena harus selaras dengan ketentuan-ketentaun lain yang levelnya sama dan masih dalam pembahasan.”
Dalam diskusi yang sama, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menyatakan bahwa penyusunan UU Pengadilan Tipikor ini dibuat rumit. ”Seolah-olah penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor ini sangat sulit, sangat rumit harus disesuaikan dengan rancangan undang-undang peradilan umum, pencucian uang harus disesuaikan dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang baru diajukan pemerintah pada bulan mei lalu dan banyak hal.”
Febri juga menimpali ungkapan Dewi yang merasa kesulitan menyelaraskan UU Pengadilan Tipikor dengan UU Peradilan Umum. “Kalau kita mau berpikir secara sederhana, sebenarnya undang-undang itu sudah ada dan persoalan penyesuaian dengan peradilan umum itu sudah terjadi sejak UU No 30/2002 tentang KPK. Memang tipikor ada di peradilan umum jadi tidak ada persolan lagi.”
Seperti diketahui, RUU Pengadilan Tipikor ini lahir karena Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 53 UU KPK. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memberikan jangka waktu selama 3 tahun kepada pemerintah dan DPR untuk merumuskan UU tersendiri yang mengatur keberadaan pengadilan tipikor. ”Sebenarnya kita bisa membaca dengan sederhana bahwa dengan pemindahan pasal-pasal 53 sampai berikutnya di UU KPK menjadi satu undang-undang tersendiri, maka basis konstitusional pengadilan tipikor sudah selesai, bahkan secara ekstrim kita bisa katakan begitu. Tapi kita ingin pengadilan tipikor mempunyai basis yang lebih kuat.”
Di kesempatan yang sama, staf khusus Presiden bidang hukum, Denny Indrayana menyatakan bahwa Presiden akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika UU Pengadilan Tipikor ini tidak bisa selesai tepat pada waktunya. ”Presiden sudah berkali-kali, saya menghitung lebih dari lima kali dan sudah berulang kali saya sampaikan. Jika RUU tidak selesai, Presiden akan keluarkan Perppu.”
(M-8)
Sumber : hukumonline.com
0 komentar:
Posting Komentar