Selamat Tinggal (Pemberantasan) Korupsi

Sabtu, 31 Oktober 2009
30/10/2009 19:09
Bivitri Susanti

Perkembangan aksi pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini semakin memprihatinkan. Rentetan peristiwanya bergulir seperti bola salju. Awalnya dengan menyatakan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, sebagai tersangka. Kemudian bagian dari orang-orang yang protes juga dijadikan tersangka pencemaran nama baik: Illian Deta Arta Sari dan Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW ). Meski bukan terkait soal KPK, waktu penetapan dan prosedur yang tidak jelas sebelumnya dapat dengan mudah diasosiasikan dengan aktivitas yang mereka lakukan dalam pemberantasan korupsi. Dan, Kamis (29/10), akhirnya Chandra dan Bibit ditahan. Ini sekadar menyebut beberapa peristiwa besar yang bisa jadi batu penanda.

Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: ada apa dengan SBY? Bukan, persoalannya bukan pada Polri, pada Kejaksaan Agung atau pada KPK. Masalah terletak pada SBY. Jalannya pemerintahan itu seperti konser musik. Ada para pemain musik sesuai instrumen masing-masing dan ada konduktornya. Pemimpin yang memberi aba-aba dan membuat permainan musik menjadi harmoni yang indah. Segala rupa kekacauan di jajaran pemerintahan ini, mestinya diberesi oleh presidennya.

Betul, presiden tidak boleh campur-tangan dalam proses hukum. Dalam penjelasan resminya, Jumat (30/10) sore, SBY menyatakan perlunya "supremasi hukum" yang membuatnya tidak bisa mencampuri urusan penegakan hukum. Tapi supremasi hukum selalu bisa dibenturkan dengan keadilan: supremasi hukum yang adil. Dan, salah satu hal penting dalam menegakkan supremasi hukum yang adil adalah kejelasan dalam setiap tindakan yang dilakukan penegakan hukum. Ini yang luput dijelaskan oleh SBY.

Cukup terang-benderang bahwa penahanan terhadap Chandra dan Bibit tidak didasarkan pada alasan yang valid. Bagaimana mungkin membentuk opini publik menjadi alasan penahanan dalam sebuah negara yang mengaku menghormati kebebasan berbicara?! Bila soalnya adalah kemungkinan melarikan diri, kepatuhan melapor yang selama ini dilakukan Chandra dan Bibit seharusnya memperlihatkan mustahilnya mereka melarikan diri. Apalagi, dimensi politik kasus ini demikian besar dan mereka cukup rasional untuk tidak membuatnya bertambah keruh.

Tapi, ini juga bukan soal Chandra dan Bibit. Ini soal SBY. Ia dipilih untuk kedua kalinya karena dianggap mampu melakukan pemberantasan korupsi. Namun, benarkah ia masih mau berkomitmen memberantas korupsi? Presiden bisa dan berwenang untuk memperjelas kekisruhan langkah-langkah KPK ini. Bila demikian besar gelombang yang mengarah pada tidak profesionalnya Kepolisian dan Kejaksaan, bukankah seorang presiden yang bijak semestinya mulai menggali opini alternatif (second opinion) dan mulai mencari solusi masalah?! Jangan hanya menutupi dan mencuci tangan atas nama supremasi hukum.

Sudut lain yang bisa dilihat untuk mengukur komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi adalah orang-orang yang dipilihnya dalam kabinet maupun lembaga lain yang masih berada di dalam lingkar kekuasaannya. Polemik Buaya dan Cicak, yang belakangan ditambah dengan Godzila oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, seharusnya membuat SBY mengevaluasi para pembantu di dalam kabinetnya untuk masa jabatannya yang kedua ini. Reformasi penegakan hukum di tubuh Kejaksaan yang berjalan tersendat, ditambah huru-hara Buaya-Cicak-Godzila, membuat kita bertanya-tanya, mengapa Jaksa Agung justru dipertahankan dalam susunan kabinet ini?

Yang tak kalah menarik. Posisi SBY sekarang sebenarnya mirip dengan posisi Suharto dulu. Jabatan strukturalnya di dalam partai bisa saja dibuat tidak menonjol. Tapi tidak ada yang bisa memungkiri bahwa Partai Demokrat adalah SBY dan SBY adalah Partai Demokrat.

Dengan peraihan kursi mayoritas di DPR ditambah dengan koalisinya dalam pemilihan presiden, SBY memegang kekuasaan amat besar. Ketua DPR menurut undang-undang memang harus berasal dari partai mayoritas. Perlu dicatat, Ketua DPR Marzuki Alie adalah "mantan tersangka" dalam kasus korupsi PT Semen Baturaja. Ia memang tidak pernah dijerat hukum. Sebab penyelidikan terhadapnya dihentikan tak lama setelah ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Maka, sebagai pemercaya negara hukum, kita harus bilang bahwa ia memang bukan koruptor. Ia hanya mantan tersangka yang kasusnya tak pernah tuntas diselidiki untuk alasan politis. Dan, sebagai Ketua DPR, ia mulai memainkan peran untuk "mengharmoniskan hubungan" antara pemerintah dan presiden dengan membatalkan beberapa rapat pengawasan yang dijadwalkan komisi-komisi.

Mengapa saya menyinggung soal DPR ketika berbicara soal pemberantasan korupsi? Ada dua sebab. Pertama, saya ingin menunjukkan lebih jauh pilihan-pilihan yang "tidak anti-korupsi" yang bisa dilakukan SBY. Padahal kita tahu kondisi korupsi di DPR sendiri membutuhkan ketua yang strategis. Kedua, selain relasi antar-partai dalam kabinet yang harmonis, pemerintah SBY jilid dua ini juga rupanya didesain untuk disokong oleh parlemen yang "manis". Kebijakan pemerintah semestinya diawasi DPR. Dengan konfigurasi DPR sekarang, niscaya pengawasan ini akan sangat melemah dan kebijakan yang koruptif tidak akan mendapat perlawanan berarti.

Bagi sebuah pemerintahan yang menjual citra, pemberantasan korupsi barangkali memang hanya penting pada awal masa kekuasaan. Yang terpenting saat ini adalah pemerintahan yang stabil, dalam arti tanpa diwarnai oposisi yang berarti. Pemberantasan korupsi yang terlampau serius, tentu saja bisa menjadi batu sandungan bagi pemerintahan ini.

Tapi apa betul kita mesti bilang selamat tinggal pemberantasan korupsi? Jika masa pemerintahan kedua SBY ini diprediksi loyo dalam pemberantasan korupsi, bukankah masih ada "orang-orang biasa"? Dalam bahasa inteleknya bisa kita sebut "masyarakat sipil": mereka bergerak bersama di ranah publik berdasarkan sebuah shared value. Mungkin suaranya tak nyaring, tapi kelompok ini bisa cukup kuat, bila mau, dalam menyeimbangkan perilaku pemerintah yang mulai keluar rel. Kelompok ini adalah saya dan Anda: orang-orang yang tidak berada di ranah politik, tapi tetap punya suara dan aksi. Maka, kita harus memilih: mengucapkan selamat tinggal korupsi atau selamat tinggal pemberantasan korupsi. Saya memilih yang pertama.

Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah

Jumat, 30 Oktober 2009
Di bawah ini adalah tautan/link untuk mengunduh/download "PERNYATAAN JAMINAN PRIBADI UNTUK PEMBEBASAN PIMPINAN KPK NON AKTIF BIBIT SAMAD RIANTO DAN CHANDRA M. HAMZAH ("Pernyataan Jaminan")."

Silahkan klik di SINI untuk mengunduh/download Pernyataan Jaminan.

Petunjuk unduh/download dan pengisian:
1. Klik di SINI atau tautan yang disediakan di atas.
2. Setelah halaman fail/dokumen "Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah" terbuka, klik "Download".
3. Pilih/klik "Microsoft Word (.doc)", kemudian klik "Save" untuk menyimpan ke komputer/HP Anda.
4. Buka dokumen "Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah" di komputer/HP Anda, kemudian tulis nama/nama-nama (kalau lebih dari 1 orang) dan pekerjaan/profesi pada kolom yang kosong, kemudian simpan/save dokumen yang telah Anda isi.
5. Kirim fail/dokumen Pernyataan Jaminan yang telah Anda isi melalui e-mail ke pembelakpk@gmail.com.

Upaya pemberantasan korupsi TIDAK BOLEH DIKRIMINALISASI! Mari sampaikan dukungan kepada Bibit dan Chandra untuk Indonesia yang bersih dari korupsi!


SAJAK KAUM CICAK

Kamis, 29 Oktober 2009
Puisi bagus dari mas Tulus Wijanarko Redpel Koran Tempo

SAJAK KAUM CICAK

Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mahfum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

Cicak-cicak Bersatulah!


Jumat, 30 Oktober 2009 | 04.21 WIB

Teten Masduki Penyair

WS Rendra dalam puisinya pernah menyerukan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, yang ditulis sewaktu almarhum belajar di Amerika pertengahan tahun 1970-an. Puisi itu ditulis dalam lembaran surat balasan kepada sahabatnya di dalam negeri yang menceritakan kenestapaan pelacur-pelacur Ibu Kota yang tidak mendapat perlindungan polisi.

Seorang teman menganjurkan mencatut judul puisi itu dalam tulisan ini untuk membangunkan kesadaran ”cicak-cicak”. Bahwa niat baik, dan seberapa kuat legitimasi perlawanan korupsi, tidaklah banyak menolong berhadapan dengan kekuatan besar yang terorganisasi. Sebab, ancaman terhadap agenda pemberantasan korupsi kini bukan sekadar wacana.

Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, memperlihatkan pertarungan ”cicak” dan ”buaya” makin sengit. Sepertinya kepolisian dan Kejaksaan Agung panik melihat opini masyarakat yang mulai meragukan kredibilitas polisi dan jaksa menyusul beredarnya transkrip rekaman yang mengonfirmasi adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra.

Seolah dengan penahanan itu dua hal sekaligus bisa diperoleh, menghambat gerak perlawanan kedua tersangka dan sekaligus menunjukkan keperkasaan mereka. Atau barangkali polisi sudah menemukan bukti kuat bahwa mereka menerima suap, yang sejauh ini menjadi kelemahan sangkaan pidana terhadap mereka yang dituding cuma melakukan penyimpangan prosedur pencekalan.

Rekayasa kriminalisasi

Transkrip rekaman pembicaraan antara pejabat kejaksaan dan pihak-pihak yang terkait kasus korupsi yang sedang ditangani KPK tersebut bukan saja menyingkap adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap kedua unsur pimpinan KPK itu, tetapi jauh dari pada itu memperlihatkan bahwa unsur-unsur busuk masih menguasai kekuasaan formal kita.

Memang sangat menyakitkan. Di tengah semangat masyarakat untuk keluar dari lilitan korupsi yang telah menempatkan bangsa ini pada harkat budaya yang paling hina, masuk dalam kelompok negara terkorup di dunia, masih ada anasir- anasir lama yang berusaha merevitalisasi rezim korupsi di negeri ini.

Sedikit banyak KPK, yang lahir dari rahim reformasi, telah mengganggu rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi yang berbasis pada patronase politik dan bisnis, meski belum mengusut sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu KPK juga telah mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret koruptor ke penjara meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat- rapat dengan alasan klasik: tidak cukup bukti.

Kita sebenarnya mengharapkan ada dukungan politik tingkat tinggi terhadap KPK. Presiden yang mengklaim punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi mestinya berdiri di belakang KPK dalam melawan upaya-upaya yang mau melemahkan KPK. Menimbulkan kontroversi di masyarakat ketika semalam sebelum penetapan tersangka kedua unsur pimpinan KPK itu oleh polisi, Presiden hadir dalam acara buka puasa di Mabes Polri. Untung saja Presiden juga cepat merespons kekhawatiran masyarakat ketika akan mengangkat sendiri pejabat sementara pimpinan KPK pengganti tiga unsur pimpinan KPK yang sedang diproses di pengadilan, dengan menyerahkannya kepada tim seleksi independen dan hasilnya relatif bisa diterima masyarakat.

Sekarang Presiden pun dicatut namanya dalam transkrip rekaman rekayasa hukum itu. Tentu kita tidak mengharapkan Presiden sekadar membersihkan dirinya dari pencatutan itu, tetapi menunjukkan kualitas kepemimpinannya dalam menyelesaikan karut-marut konflik antara ”cicak dan buaya” ini. Saat ini momen yang tepat untuk menata kembali hubungan konstruktif semua kelembagaan antikorupsi itu yang sekarang saling sikut. Presiden harus memberi dukungan kepada KPK untuk mengusut pihak-pihak yang terlihat dalam rekayasa kriminalisasi ini.

Presiden biasanya enggan dipersepsikan publik bahwa ia melakukan intervensi politik terhadap kemandirian penegakan hukum, karena memang polisi dan kejaksaan yang bermasalah dengan KPK berada di bawah kekuasaan Presiden. Dan tidak mungkin membersihkan negeri ini dari korupsi tanpa KPK yang kuat, karena masih diperlukan waktu dan upaya yang panjang untuk memulihkan institusi polisi dan kejaksaan untuk bisa berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.

Serangan balik koruptor terhadap KPK barangkali tidak akan pernah reda. Serangan mematikan yang harus diwaspadai akan mengarah pada pemangkasan kewenangan formal dan infiltrasi agen-agen korupsi ke dalam tubuh KPK. Dalam skala dukungan politik yang sangat lemah, tidak ada jalan lain, KPK harus membangun sistem kekebalan internal dan mengapitalisasi dukungan masyarakat yang sangat besar sebagai kekuatan legitimasi mereka.

Tidak tuntas

Sayangnya dalam pertarungan ini KPK tampil agak ragu-ragu dan kurang percaya diri. Kalau saja mau, KPK bisa menyeret hampir separuh anggota DPR dari sejumlah kasus yang mereka tangani. Dalam banyak kasus, KPK tidak pernah menebas habis semua pelakunya. Padahal, seperti membasmi virus, mestinya KPK tidak boleh menyisakan benih-benih kotor yang akan berkembang biak atau memberikan perlawanan.

Dalam kasus dugaan pemerasan oleh pejabat kepolisian pada kasus Bank Century, KPK membiarkan isunya berkembang tanpa berani menuntaskan.

Saya yakin KPK pun bisa menggunakan rekaman itu, yang pasti informasinya jauh lebih lengkap dari secuil transkrip rekaman yang beredar saat ini, untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK terus berlanjut. Padahal, mereka bisa melakukan itu atas nama mandat supervisi yang dimiliki oleh KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan.

Atau mungkin kita tak bisa mengharapkan cicak melakukan lompatan besar karena cicak hanya bisa merayap diam-diam melahap mangsanya, seperti hampir semua anak prasekolah bisa menyanyikan lagu ”Cicak-cicak di Dinding”.

Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia

Sumber : Kompas.com - opini

Dukungan untuk Bibit & Chandra di Facebook Melonjak


Jakarta - Jumlah dukungan untuk Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah di jejaring sosial Facebook melonjak. Dalam 2 jam, jumlah anggota grup 1 Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit naik hampir 1.000 orang.

Pantauan detikcom, Jumat (30/10/2009) pukul 08.30 WIB, jumlah anggota grup itu mencapai 1.137 orang. Padahal 2 jam sebelumnya jumlahnya hanya 164 orang.

Akun grup yang dibuat oleh dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu bernama Usman Yasin ini rupanya menarik minat banyak orang. Mereka ingin bersatu padu membela Bibit dan Chandra.

"Saya cicak juga. Saya ingin bersatu dengan semua cicak melawan si boyo (buaya)," demikian tulis salah seorang anggota, Rita D Suradja, dalam wall.

sumber : detik.com

TIME TO FIGHT BACK

INNALILLAHI WA INNAILLAIHI ROJI'UN.....NEGARA KITA BENAR-BENAR SUDAH HANCUR!!...alasan penahanan Chandra dan Bibit adalah karena "MENGGALANG OPINI PUBLIK!", ARTINYA KALAU SAYA, ANDA DAN KITA SEMUA SEBAGAI RAKYAT PUNYA OPINI....MAKA MEREKA BISA MENAHAN KITA SEMUA!!

HARI INI KITA SEMUA HARUS BERDUKA KARENA SEBAGAI RAKYAT MERDEKA, HAK KITA SEMUA SUDAH DIRAMPAS! KITA SAAT INI SEDANG DI JAJAH!

YANG LEBIH MENYEDIHKAN LAGI....SAMPAI SAAT INI KORUPTOR ANGGRORO DAN ANGGODO BERSAUDARA MALAH SEDANG SANTAI DI SINGAPURA!!

REKAN-REKAN CICAK, SUDAH SAATNYA KITA BERGERAK!
DIKTATOR BARU TELAH LAHIR

JANGAN TUNGGU 32 TAHUN LAGI SEBELUM NEGARA KITA JADI SEMAKIN HANCUR.

GOD HELP US ALL

Salam,

Cicak

Transkrip Rekaman Bukti Rekayasa Kasus KPK "Kamu Ngomong ke Rit (Pimpinan Kejagung)"

Senin, 26 Oktober 2009
Karaniya Dharmasaputra, Yudho Rahardjo, Ita Lismawati F. Malau


Sejumlah nama petinggi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI bermunculan.

rekaman itu beredar di kalangan terbatas sejak hari Minggu kemarin, 25 Oktober 2009. Isinya, sebagaimana telah diberitakan VIVAnews sebelumnya, kuat mengindikasikan adanya rekayasa sistematis untuk mengkriminalisasikan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Seorang sumber tepercaya VIVAnews yang terlibat langsung dalam pusaran perkara ini mengkonfirmasikan kesahihan dari transkrip tersebut.

Transkrip itu, tak lain, adalah cuplikan percakapan yang terekam dalam penyadapan yang dilakukan KPK terhadap Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo--bos PT Masaro Radiokom yang kini menjadi buronan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

Sejumlah nama petinggi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI, termasuk jaksa dan polisi penyidik, disebut-sebut di dalamnya. Salah satunya diduga Wisnu Subroto yang ketika itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen. Kepada VIVAnews, Wisnu keras membantah.

Pejabat yang lain yang namanya disebut-sebut diduga adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ditanya wartawan Senin, 26 Oktober 2009 di Bogor, ia hanya menggumam, "... Ehmmm."

Dari Mabes Polri juga muncul nama yang diduga adalah Irjen Pol. Hadiatmoko, Wakil Kepala Bareskrim Polri yang kini menjabat sebagai perwira tinggi di Mabes Polri. Dikonfirmasi VIVAnews, Hadiatmoko hanya menjawab singkat, "No comment."

Ihwal dugaan sejumlah perwira tinggi kepolisian ini, Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri berjanji akan mempelajarinya.

Adapun Kepala Humas Kejaksaan Agung Didi Juru Bicara Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menantang balik KPK untuk membuka bukti rekaman itu. "Silakan saja kalau mau diungkap," katanya, Selasa 20 Oktober 2009.

Berikut cuplikan transkrip tersebut yang didapat wartawan VIVAnews.

Anggodo ke Wisnu Subroto (22 Juli 2009:12.03)

“… nanti malam saya rencananya ngajak si Edi (Edi Soemarsono, saksi dan teman dekat mantan Ketua KPK Antasari Azhar, red.) sama Ari (Ari Muladi, tersangka kasus pemerasan dan teman Anggodo, red.) ketemu Truno-3 (Mabes Polri kerap disebut sebagai "Trunojoyo").

Wisnu Subroto ke Anggodo (23 juli 2009:12.15)

“Bagaimana perkembangannya?”

“Ya, masih tetap nambahin BAP, ini saya masih di Mabes.”

“Pokoknya berkasnya ini kelihatannya dimasukkan ke tempatnya Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung), minggu ini, terus balik ke sini, terus action.”

“RI-1 belum.”

Udah-udah, aku masih mencocokkan tanggal.”

Anggoro ke Anggodo (24 Juli 2009:12.25)

Yo pokoke saiki Berita Acara-ne kene dikompliti (ya pokoknya sekarang Berita Acara-nya dilengkapi).”

Wes gandeng karo Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung) kok dek’e (dia sudah nyambung kok dengan R)

Janji ambek Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung), final gelar iku sama kejaksaan lagi, trakhir Senen (Janji sama Rit gelar perkara final dengan kejaksaan lagi, terakhir Senin).”

“… sambil ngenteni surate RI-1 thok nek? (... tinggal menunggu surat dari RI-1?)”

Lha, kon takok’o Truno, tho (ya kamu tanyakan ke Trunojoyo, dong).”

Yo mengko bengi, ngko bengi dek’e (ya nanti malam saya tanyakan ke dia).”

Hadiatmoko ke Anggodo (27 Juli 2009, 18.28)

“..dan ini kronologinya saya sudah di Bang Far (nama lelaki) semua,”

“Sebetulnya ada satu saksi lagi si Edi Sumarsono, Pak, yang Antasari itu, Pak. Sama pembuktian lagi waktu Ari kesana, ada pertemuan rapat dengan KPK, Pak.”

“Ada pertemuan di ruang rapat Chandra (Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah, red.)”

Anggodo ke Kos (nama laki-laki, red) (28 Juli 2009, 12.42)

“Kos, itu kronologis jangan lu kasih dia loh, Kos.”

“Jangan dikasihkan soalnya Edi sudah berseberangan.”

Cuman lu harus ngomong sama dia: ’terpaksa lu harus jadi saksi,’ karena Chandra lu yang perintah, kalao nggak, nggak bisa nggandeng.”

Anggodo ke seorang perempuan (28 Juli 2009, 21.41)

Besok kon tak ente…, ngomong ke Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung, red.) (Besok kamu saya tunggu ..., bicara ke R), Edi Sumarsono itu bajingan bener, sebenarnya dia mengingkari semua.”

“Besok penting ngomong. Edi ngingkari, Pak, padahal Antasari bawa Chandra.”

Anggodo ke Prm (penyidik) (29 Juli 2009, 13.09)

“Kelihatannya kronologis saya yang benar.”

“Iya sudah benar kok, saya lihat, di surat lalu lintas. Saya sudah ngecek ke Imigrasi, sudah benar kok.”

Anggodo ke Wisnu Subroto (29 Juli 2009, 13.58)

“Terus gimana, Pak, mengenai Edi gimana, Pak?”

“Edi udah tak omongken Ir (nama salah satu jaksa di Kejaksaan Agung) apa. Ini bukan sono yang salah, kita-kita ini yang jadi salah.”

“Iya, padahal dia saksi kunci Chandra.”

“Maksud saya Pak, dia kenalnya dari Bapak dan Pak Wisnu (nama petinggi Kejaksaan Agung), gak apa-apa kan, Pak.”

Nggak apa-apa, kalau dari Wisnu nggak apa-apa lah.”

“Kalau kita ngikutin, kan berarti saya ngaku Ir (nama jaksa di Kejaksaan Agung) kan. Cuma kalau dia nutupin dia yang perintah… perintahnya Antasari suruh ngaku ke Chandra itu gak ngaku. Terus siapa
yang ngaku?”

“Ya, you sama Ar.”

“Nggak bisa dong Pak, wong nggak ada konteksnya dengan Chandra.”

“Nggak, saya dengar dari Edi.”

“Iya dari Edi, emang perintahnya dia Pak. Lha, Edinya nggak mau ngaku, gitu Pak, dia nggak kenal Chandra, saya ndak nyuruh ngasihin duit, gimana, Bos?”

“Ya ndak apa-apa”

Anggodo ke Wisnu Subroto (30 Juli 2009, 19.13)

“Pak tadi jadi ketemu?”

Udah, akhirnya Kos (nama seseorang) yang tahu persis teknis di sana. Suruh dikompromikan di sana, Kosasih juga sudah ketemu Pak Susno, dia juga ketemu Pak Susno lagi si Edi. Yang penting kalo dia tidak mengaku susah kita.”

“Yang saya penting, dia menyatakan waktu itu supaya membayar Chandra atas perintah Antasari.”

“Nah itu.”

Wong waktu di malam si itu dipeluk anu tak nanya, kok situ bisa ngomong. Si Ari dipeluk karena teriak-teriak, dipeluk sama Chandra itu kejadian.”

“Bohong, nggak ada kejadian, kamuflase saja.”

Nggak ada memang. Jadi dia cuma dikasih tau disuruh Ari gitu. Dia curiga duite dimakan Ari.”

“Bukan sial Ari-nya Pak, dia cerita pada waktu ke KPK dia yang minta
Ari, kalau ditanya saya bilang Edi ada di situ, diwalik (dibalik) sama-sama doa, Ari yang suruh ngomong dia ngomong dia ada. Kalau itu saya gak jadi masalah pak, itu saya suruh…”

“Pokoknya yang kunci-kuncinya itu saya sudah ngomong sama Kosasih, kalo tidak ada lagi…nyampe…ya berarti ya enggak bisa kasus ini gitu.”

“Yang penting buat saya Pak si Ari ini, dia ngurusi AR (pimpinan KPK, red) segala. Ujung-ujungnya dia dapet perintah nyerahkan ke Chandra itu siapa, Pak? Kan nggak nyambung, Pak”

“Bukan Pak, dia memerintahkan nyerahken ke Chandra yang Bapak juga tahu, kan, karena kalo gak ada yang merintah Chandra, Pak, nggak nyambung uang itu, lho."

“Memang keseluruhan tetap keterangan itu, kalau Edi nggak ngaku ya
biarin yang penting Ari sama Anggodo kan cerita itu”

Kan saksinya kurang satu.”

“Saksinya akan sudah dua, Ari sama Anggodo”

“Saya bukan saksi, saya kan penyandang dana, kan.”

“Kenapa dana itu dikeluarkan, karena saya disuruh si Edi kan, sama saja kan, hahaha…”

“Suruh dia ngaku lah, Pak, kalao temenan kaya gini ya percuma, Pak, punya temen.”

“Susno dari awal berangkat sama saya ke Singapura. Itu dia sudah tahu Toni itu saya, sudah ngerti, Pak. Yang penting dia nggak usah masalahin. Itu kan urusan penyidik.”

"Yang penting dia ngakuin itu bahwa dia yang merintahkan untuk nyogok Chandra, itu aja.”

“Sekarang begini, dia perintahkan kan udah Ari denger, you denger kan. Sudah selesai…”

“Tapi, kalo dia nggak bantu kita Pak, terjerumus. Dia dibenci sama Susno.”

Biarin aja, tapi nyatanya dia ngomong dipanggil Susno.”

Anggodo dengan seorang perempuan (6 Agustus 2009, 20.14)

Iyo tapi ditakono tanda tangani teke sopo, iya toh gak iso jawab.
Modele bajingan kabeh, Yang.
Chandra iku yo, wis blesno ae, Yang, ojo ragu-ragu… (Iya, tapi ditanyakan ini tanda tangan siapa, iya toh tidak bisa menjawab. Modelnya bajingan semua, Yang. Chandra itu dijebloskan saja, Yang, jangan ragu-ragu...).”

Anggodo dengan seorang laki-laki (7 Agustus 2009, 22.34)

“Menurut bosnya Trunojoyo, kalau bisa besok sudah keluar.”

“Dia bilang tidak bagus, karena pemberitaannya hari Minggu,
orang sedang libur. Bagusnya Senin pagi, langsung main.”

“Truno (Trunojoyo, red) minta TV dikontak hari ini, supaya besok counter-nya dari Anggoro.”

Anggodo dengan …(8 Agustus 2009, 20.39)

Nggak usah ngomong sama penyidik. Cuma Abang saja tahu bahwa BAP-nya Ari tuh seperti itu. Jadi dalam posisi dia BAP, masih sesuai apa yang dia anu. Jangan sampai dia berpikir, kita bohong.”

“Siap, Bang.”

“Sama harus dikaitkan ini, seperti sindikat Edi, Ari sama KPK satu
sindikat mau memeras kita, ya Bang”

“Iya.”

“Intinya si Ari sudah di BAP seperti kronologis. Kenapa kok kita laporkan Ari itu. Kenapa sudah laporan begini kok dia melarikan diri.
Gitu loh. Dan si Edi itu di BAP itu nggak ngaku. Kita nggak usah ngomong. Pokoknya si Edi nggak tahu kita.

”Bang, nanti maksudnya di BAP kita nantinya, inti bahwa pengakuan itu, Bang.”

“Iya.”

“Sekarang jangan dibuka dulu. Maksudnya status si Ari itu, kita merasa Ari sama Edy dan ini tuh, ini kita diperas KPK sudah kita bayar. Kenapa jadi masalah begini. Gitu loh, Bos.”

“Iya.”

“Menurut pengakuan Ari, dia sudah membayar seluruh dana tersebut kepada orang-orang KPK, nggak tahu siapa.”

“Betul.”

Al (nama seorang laki-laki) dengan Anggodo (10 Agustus 2009,17.33)

“Secara keseluruhan apik (bagus). Anggoro nggak lari.”

Kenceng dia ngomonge (gamblang dia bicaranya).”

Kenceng. Tak rekam banter mau? (Gamblang. Saya rekam keras-keras mau?)”

Yo wes (ya sudah). Terus poin-poinnya tersasar, kan?”

“Sudah.”

“Tidak lari. Ciamik dee njelasno (bagus sekali dia menjelaskannya).”

“Ini ada suatu rekayasa, nampak dari pemanggilan jadi saksi terus tersangka. Tenggat waktu 9 bulan. Sudah kondusif. Moro-moro (tiba-tiba) karena ada testimoni, muncul pemanggilan sebagai tersangka. Secara keseluruhan oke.”

“Mengenai cekal, salah sasaran”

“Ya dalam kasus Yusuf Faisal, kok dicekal Anggoro. Itu bagaimana.
Penyitaan dan penggeledahan juga salah sasaran. Dalam kasus Yusuf
Faisal, kok yang digeledah Masaro. Pokoknya intinya sudah masuk semua.”

Alex dengan Anggodo dan Rob (nama laki-laki 3) (10 Agustus 2009:18.07)

“Iya memang di cuplikan. Nggak banyak, tapi intinya kita berkelit, kalau ini bukan penyuapan. Karena di awal itu, beritanya dari Antasari dulu, testimoni itu. Jadi dia cuplik dari Antasari, terus baru disambung ke kita, jadi dijelaskan sama Bon (nama pengacara Anggoro), kalo itu bukan penyuapan. Dan permasalahannya, kedatangan Antasari menemui Anggoro itu juga membawa konsekwensi Antasari bisa dipermasalahkan”

Ngomong gimana? Pengacara dari Anggoro press release hari ini.”


Sumber : VIVAnews - TRANSKRIP

Dengarkan Suara dari Tembok Kota

Sabtu, 24 Oktober 2009


By Ahmad Arif

Ketika suara kritis dibungkam, tembok-tembok kota pun menjelma menjadi ruang penyampai pesan. Sebuah pesan perlawanan terhadap para koruptor yang mengisap uang rakyat.

Hampir tengah malam. Jakarta gerah. Jalan Gelora di belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat itu lengang. Hanya sesekali kendaraan berlalu.

Delapan anak muda bergumul dengan kuas dan cat. Tangan-tangan mereka tangkas melabur tiang beton proyek monorel yang mangkrak. Warnanya merah menyala. Mobil polisi tiba-tiba datang, menepi. Petugas berseragam itu bertanya dari jendela mobil setengah terbuka.

”Kami sudah ada izin,” jawab seorang pemuda sekenanya. Polisi itu pun berlalu.

Tiba-tiba datang lagi lelaki lain. Dia mengaku dari kantor kelurahan. ”Tak boleh melukis di sini,” kata lelaki bernama Jefri. Dia ngotot. Anak-anak muda itu pun ngotot. ”Kami hanya bekerja, masalah izin sudah ada yang urus,” katanya.

Tak mau terjadi keributan, anak-anak muda itu pun mengalah. Mereka pergi meninggalkan pekerjaan separuh jadi. ”Kita kerjakan di tempat yang lain dulu. Masih banyak tembok lain,” seru seorang di antara mereka.

Lalu, mereka bergerak mengangkut cat dan alat-alat gambar lainnya ke arah Simprug. Baru separuh jalan ketika Jefri tiba-tiba menelepon. ”Itu cuma dicat merah saja, kan?” tanya dia. ”Merah dan sedikit gambar warna putih,” kata Ardi.

Entah mengapa, tiba-tiba Jefri luluh dan berkata, ”Kalau begitu dilanjutkan saja. Silakan, Mas.” Barangkali, begitu mendengar tentang ”merah dan putih”, nasionalisme Jefri terpompa.

Anak-anak muda itu putar haluan. Mereka meneruskan kembali pekerjaan yang tertunda. Menjelang dini hari pekerjaan mereka pun kelar. Hasilnya, sebuah gambar putih di atas latar merah tentang dua sosok lelaki yang saling berhadapan. Satu sosok besar dan gagah, dan seorang lelaki ceking dengan tangan terbelenggu yang bertanya, ”Mau berantas korupsi atau KPK?”

Gambar di tiang lainnya tentang buaya yang perkasa menginjak cicak. Sebuah sindiran tentang pergulatan ”cicak melawan buaya”.

Tak bisa dibungkam

Kisah tentang mural sarat pesan antikorupsi ini merupakan kelanjutan episode ”cicak melawan buaya”. Sebuah gerakan perlawanan yang mendapat inspirasi dari pernyataan petinggi Polri terkait dengan ”perseteruan” lembaga itu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena merasa (lembaga) lebih ”kuat”, muncullah pernyataan dari Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, ”Cicak, kok, melawan buaya.”

Irma Hidayana dari komunitas Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) mengatakan, kelompoknya terdiri dari orang-orang yang tak rela negaranya terus dibajak oleh koruptor dan centengnya. ”Saat ini KPK sebagai lembaga yang melawan korupsi dilemahkan. Pelemahan KPK berarti pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini,” katanya.

Anggota Cicak lainnya, Agam Faturrochman, mengatakan, Cicak dibentuk secara spontan untuk merespons kriminalisasi KPK. ”Tak ada koordinator, sekretaris, atau struktur organisasi. Keanggotaannya cair. Ada dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat), seniman, pengacara, pekerja swasta, dan lain-lain,” kata pekerja swasta ini.

Menurut Agam, mereka saweran untuk membiayai kampanye-kampanye antikorupsi. ”Tujuan kami mengingatkan semua pihak, khususnya pemerintah baru, untuk konsisten memberantas korupsi,” katanya.

Gerakan kritis, menurut Agam, justru akan semakin kuat ketika penguasa semakin otoriter dan tidak mau dikritik. Cicak juga tumbuh di beberapa kota lain, selain Jakarta.

”Kami akan terus menyebarkan virus antikorupsi di masyarakat. Yakinlah, jika KPK dimatikan, masyarakat tetap akan terus berjuang melawannya,” ujarnya.

”Setelah dua kawan dari ICW (Indonesian Corruption Watch) dikriminalkan karena menyampaikan dugaan korupsi di kejaksaan, gerakan kritis antikorupsi justru akan semakin kuat. Kami pasti bisa menemukan cara,” kata Irma.

Sebelumnya komunitas Cicak menggelar pertunjukan musik dan pembacaan puisi. Semuanya disisipi dengan pesan-pesan kritik terhadap korupsi. Terakhir, mereka membuat mural yang menghiasi beberapa tembok di Ibu Kota. ”Dengan mural, masyarakat luas bisa membacanya di jalan-jalan,” kata Irma.

Tak hanya di tiang monorel di belakang Gedung DPR, selama beberapa malam terakhir anak-anak muda itu bergerilya melukis tembok kota dengan ajakan untuk bersatu melawan korupsi.

Beberapa tempat lain yang mereka lukisi adalah tembok jalan layang di Simprug, tiang pancang monorel di depan Pasar Festival di Jalan HR Rasuna Said, di Dukuh Atas, di Jalan Jenderal Sudirman, di perempatan Kuningan, Jalan Gatot Subroto, di perempatan Bioskop Metropole di Jalan Diponegoro, dan dinding Stasiun Cikini.

Semua lukisan itu berwarna putih di atas latar belakang merah, berisi tentang ajakan melawan korupsi, dan bisa dilihat warga Ibu Kota berbarengan dengan pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (20/10). ”Kalau bersama-sama lebih mudah memberantasnya,” demikian pesan dari gambar tentang seekor ”tikus” yang dikepung.

Malam makin larut. Anak-anak muda itu terus bekerja. Di tangan mereka, tembok-tembok kota itu bersuara. Sebuah pesan yang jelas dan tegas kepada pemerintahan yang baru dibentuk. Pesan untuk melawan korupsi.

Sumber : Koran Kompas, Sabtu, 24 Oktober 2009

Aksi CICAK di Jawa Tengah

Rabu, 21 Oktober 2009

CICAK Merayap di Dinding Ibukota

Selasa, 20 Oktober 2009
Siaran Pers

Jakarta, 20 Oktober 2009. Tujuh ruang publik di Jakarta pada hari ini, Selasa 20 Oktober dipastikan dipenuhi dengan karya mural (lukisan dinding) anti korupsi. Mural anti korupsi ini dilakukan oleh komunitas CICAK (Cinta Indonesia Cinta KPK) sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Secara umum mural yang dikerjakan pada 17 – 19 Oktober 2009 ini bertema dukungan terhadap gerakan anti korupsi. Selain itu, melalui karya mural ini, CICAK juga menetapkan posisinya untuk memberikan dukungan terhadap gerakan anti kriminalisasi terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aktivis anti korupsi. “KPK dan aktivis anti korupsi perlu didukung, bukan dikriminalisasi”, jelas Rival GA, anggota CICAK.
Mural dipilih sebagai medium kampanye anti korupsi sebagai upaya untuk mengkomunikasikan pesan advokasi anti korupsi kepada masyarakat luas. Irma Hidayana anggota CICAK lainnya menambahkan bahwa, “Pesan anti korupsi serta anti kriminalisasi terhadap KPK dan aktivis anti korupsi mungkin akan terasa lebih mudah dipahami masyarakat umum jika dilukiskan melalui seni mural di ruang publik”. Hadirnya karya mural anti korupsi di ruang publik diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tetap kritis terhadap penyelesaian kasus-kasus korupsi serta indikasi adanya upaya-upaya pelemahan terhadap gerakan anti korupsi, lembaga tertentu maupun aktivis anti korupsi. Melalui medium mural, CICAK mengajak masyarakat luas untuk lebih kritis terhadap isu korupsi demi mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas dari Korupsi.

Mural bisa dilihat secara langsung di lokasi-lokasi berikut:
  1. Jl. Pondok Indah Simpruk, di depan Masjid Al-Istiqqamah, Jakarta Selatan.
  2. Tiang-tiang pancang monorail di depan Pasar Festival, Jl. HR. Rasuda Said. Jakarta Selatan.
  3. Putaran Dukuh Atas, di bawah Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
  4. Pilar jembatan layang di perempatan Kuningan, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
  5. Pilar rel kereta api di lampu merah perempatan Bioskop Metropoole, Jl. Diponegoro,
  6. Jakarta Pusat.
  7. Dinding Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Di depan Universitas Bung Karno.
  8. Pilar-pilar monorail di belakang Gedung DPR, Jl. Gelora, Jakarta Pusat

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Irma Hidayana 0817 186 004, Erni Setyowati 0813 14417054, Rival GA 08788098 87734

Lukisan Antikorupsi Hias Ruang Publik di Jakarta

Aprizal Rahmatullah - detikNews

Jakarta - Lukisan dinding atau mural antikorupsi kini terpampang di ruang publik di Jakarta. Mural bertema antikorupsi ini dibuat komunintas Cicak (Cintai Indonesia Cintai KPK) sebagai bentuk dukungan pada upaya pemberantasan korupsi.

"Ada 7 ruang publik yang dihias dengan lukisan, antara lain putaran Dukuh Atas di bawah Jl Sudirman, di tiang pancang monorail di depan Pasar Festival, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, dan pilar jembatan layang di perempatan Kuningan, Jl Gatot Subroto," kata anggota komunitas Cicak Rival GA, dalam siaran pers, Selasa (20/10/2009).

Mural juga dibuat di Jl Pondok Indah, di depan Masjid Al-Istiqqomah, Jaksel, pilar rel kereta api di lampu merah perempatan Bioskop Metropole, Jl Diponegoro, Jakpus, dinding Stasiun Cikini di depan Universitas Bung Karno, dan pilar monorail di belakang Gedung DPR, Jl Gelora, Jakarta Pusat.

"Pesan antikorupsi serta antikriminalisasi terhadap KPK dan aktivis antikorupsi mungkin akan terasa lebih mudah dipahami masyarakat umum jika dilukiskan di ruang publik," tambah Rival.

Dia berharap, mural ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tetap kritis terhadap gerakan antikorupsi, lembaga tertentu maupun aktivis antikorupsi.

"Kita berharap masyarakat bisa lebih kritis terhadap isu korupsi demi mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas dari korupsi," tutupnya.

(ndr/nrl)

Sumber - Detik.com

MURAL

Senin, 19 Oktober 2009


Twists and turns in Indonesia graft battle

Kamis, 15 Oktober 2009


By John McBeth


OCT 3 — Sometimes, as, as Indonesia proceeds along the often rocky path towards modern statehood, the faith we have in the country to always do the right thing is sorely tested. This is one such time.

Take a look at concerted efforts to water down the powers of the Anti-Corruption Commission (KPK) and to undermine the credibility of incoming Vice-President Boediono and Finance Minister Sri Mulyani Indrawati, the country's two top reformers.

Then wonder what was in the minds of provincial lawmakers in Aceh, who recently passed a mediaeval — and seemingly unconstitutional — by-law that allows adulterers to be stoned to death. Stoning corrupt officials would make more sense, but that did not rate a mention.

All this when Indonesia is on top of its game, emerging virtually unscathed from the global economic crisis and looking ahead to five more hopeful years under President Susilo Bambang Yudhoyono.

Given the vested interests involved, a backlash against the anti-corruption campaign was always to be expected. Certainly, it seems to prove what civil society activists have been warning about all along: As much as Indonesia seems to be laying the foundations for sound and democratic government, there is simply no room for complacency.

Immediate concerns centre on the recently passed Anti-Corruption Court Law, and the way it gives district courts the authority to change the make-up of the five-man panels by choosing three career judges and two ad hoc judges instead of the other way around.

Career judges are regarded with deep suspicion, coming as they do from a corrupt court system that has dined on bribes for decades. Ad hoc jurists drawn from the legal community are seen to be more idealistic and therefore more trustworthy.

Critics also believe the plan to establish anti-corruption courts in each province is premature, but there is some relief that the new legislation does not seek to prevent the KPK from prosecuting corruption cases.

That, according to Justice and Human Rights Minister Andi Mattalata, can happen only with the revision of the law which created the KPK — perhaps a battle that will have to be fought further down the road.

The Anti-Corruption Court Law became necessary after the Constitutional Court correctly ruled in 2006 that the existing court had no legal basis. It gave the government and Parliament until December this year to rectify the anomaly.

The arrest earlier this year of KPK chairman Antasari Azhar on charges of ordering the murder of an alleged blackmailer gave a venal coalition of police, bureaucrats and politicians the pretext to go after the commission.

Yudhoyono only fuelled the backlash by suggesting in July that the KPK had too much power. The timing of the comment was also significant, coming shortly after one of his in-laws was jailed for corruption.

Only in the last week or so has the President belatedly come out in support of the commission, saying it was essential for it to retain its prosecutorial role and also to have the ability to wiretap during the course of an investigation.

It seems clear, however, that significant segments of Parliament, the Attorney-General's Office and the police would not have continued their campaign against the KPK without feeling they had some sort of encouragement from higher up.

The police decision to go ahead and indict KPK commissioners Bibit Rianto and Chandra Hamzah on bribery charges appears to be based solely on what Antasari is alleged to have told them during his interrogation.

Why a murder case suddenly veered into an investigation of other KPK members has not been explained, but the police now seem to be providing some justification for that by formally accusing Antasari of an improper meeting with a graft suspect.

Reformists claim national police chief-of-detectives Susno Duadji is pursuing a vendetta against the KPK because of inquiries it was making into his role in the Bank Century scandal. The Supreme Audit Agency is reported to have found signs of “criminal activity” in its audit of the controversial 6.7 trillion rupiah (RM2.36 billion) bailout of the bank.

Certainly, in a lengthy text message he sent around Jakarta on July 11, Susno made no secret of his determination to literally cut the KPK down to size. In that, he seems to have succeeded, given the fact there are now only two commissioners left — not enough for it to function.

The President has had little choice aside from declaring his neutrality in the ongoing conflict, but in signing a government regulation in lieu of law to fill the vacancies left by three of the five commissioners, he now finds himself at the centre of another firestorm.

He is being accused of interfering in the KPK's status as an independent body, particularly in seeking to replace Bibit and Chandra who, unlike Antasari, have yet to be formally charged.

Sumber - Straits Times

Pemberantasan Korupsi Salah Jalan

Selasa, 06 Oktober 2009
Oleh Bivitri Susanti

Diserahkannya nama-nama pimpinan sementara KPK kepada Presiden, Senin (5/10), kian mengaburkan arah pemberantasan korupsi.

Munculnya nama-nama itu dapat mengarahkan opini keliru publik, persoalan di tubuh KPK telah selesai karena presiden sudah memberi jalan keluar terbaik dengan membuat jumlah pimpinan kembali menjadi lima.

Langkah ini diawali keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK pada 23 September. Lalu dibentuk Tim Lima, yang bertugas menyerahkan nama-nama pimpinan sementara KPK kepada Presiden.

Perppu itu sendiri sudah kontroversial karena ”hal ihwal kegentingan memaksa” yang seharusnya mendasari keluarnya perppu terlihat seperti ”hal ihwal kepentingan yang memaksa”. Sebab, presiden ”potong kompas” melalui perppu untuk memilih pimpinan sementara sebuah lembaga yang jelas tidak di bawah kendali presiden, sementara ada jalan lain yang bisa dipilih. Misal, membenahi koordinasi antarpenegak hukum, mempercepat proses pemilihan pimpinan.

Tulisan Benny K Harman (Kompas, 5/10) dapat mengaburkan peta pemberantasan korupsi sehingga kita salah jalan. Yang seharusnya dilakukan presiden bukan ”mengatasi merosotnya integritas KPK” seperti ditulis Benny. Tulisan itu dapat mengarahkan pada persepsi keliru tentang pemberantasan korupsi dan KPK dengan mengatakan, integritas KPK sudah merosot. Benarkah? Atau masalah sebenarnya ”serangan” terhadap KPK?

Akar masalah

Harus diingat, akar masalah bukan ”jumlah” pimpinan KPK, tetapi serangan terhadap kerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Isu jumlah pimpinan adalah akibat serangan terhadap kerja KPK. Sayang, aksi yang menyebabkan masalah jumlah ini justru tidak disasar presiden. Presiden cenderung lepas tangan, reaksinya pada masalah jumlah. Di titik ini, sebenarnya perlu dipertanyakan sejauh mana komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi.

Jangan lupa, kisah ini berawal dari sangkaan Polri terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tentang penyalahgunaan wewenang. Di sini kita kesampingkan dulu dakwaan pidana pembunuhan yang dikenakan terhadap Antasari Azhar yang punya dimensi berbeda.

Sangkaan awal Polri terhadap dua pimpinan KPK itu terkait penetapan dan pencabutan larangan bepergian ke luar negeri (pencegahan) kepada Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo. Padahal, wewenang KPK untuk ”memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” diatur jelas dalam UU KPK (Pasal 12 Ayat (1) huruf b).

Sangkaan ini lalu berubah. Namun, ini justru menandakan ketidaksiapan Polri dalam menangani kasus ini. Bahkan, sebagian pihak menengarai adanya masalah yang dicari-cari sehingga Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dilaporkan ke Inspektorat Pengawasan Umum Polri oleh pengacara KPK.

Serangan balik terhadap KPK ini juga dapat dilihat dengan mata telanjang. Sayang, ditutup tirai kepentingan politik. Misalnya dengan munculnya berita terbaru tentang pesan singkat berisi ancaman yang dikirimkan ke KPK.

Harapan

Seberapa pun pihak yang tidak setuju dengan proses yang amburadul ini, kenyataannya perppu sudah keluar dan pimpinan sementara sudah ada. Tinggal harapan yang mungkin kita sematkan pada pundak para pimpinan sementara KPK itu.

Pertama, agar mereka dapat menjalankan tugas-tugas di KPK secara baik dan tetap independen tanpa harus memosisikan diri di bawah presiden, meski proses pemilihan mereka hanya diatur presiden. Tiga nama ini memang tidak asing dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Namun, proses yang keliru dengan mengeluarkan perppu yang menunjuk Tim Lima tetap harus diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk di masa datang. Ketiga pimpinan sementara ini justru yang harus membantu meluruskannya.

Kedua, agar mereka bisa mengingatkan presiden untuk memberesi kekeruhan soal pimpinan KPK dan mengingatkan, masalahnya adalah status tersangka dua pimpinan KPK tanpa adanya dasar hukum kuat. Sangkaan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto harus segera dibereskan dan pemeriksaan terhadap Kepala Bareskrim harus dituntaskan.

Membaca peta pemberantasan korupsi yang kian semrawut ini, kita harus berharap pada kalangan masyarakat sipil agar lebih aktif mengawasi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, sudah terlihat gelagatnya pemerintah dan politisi tidak mendukung gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

BIVITRI SUSANTI Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia; Kandidat PhD pada University of Washington School of Law, Seattle, AS

Indonesia Dilutes Antigraft Court

Kamis, 01 Oktober 2009
By TOM WRIGHT

JAKARTA — Indonesia's parliament passed a bill Tuesday that dilutes the powers of the special Corrupt Crimes Court, a move critics called a step backwards for the graft-plagued nation's efforts to weed out corruption.

The Court was set up in 2003 to try graft cases and has sent scores of people to prison, including politicians, central bank officials and regional governors. President Susilo Bambang Yudhoyono, who first took office in 2004, has won praise at home and abroad for battling graft, a problem which has seriously dented foreign investor confidence in Indonesia over the past decade.

But some lawmakers and police have argued the powers of the Court and its sister body, the Anticorruption Commission, are too broad and could lead to abuses. Anticorruption advocates say some politicians fear the dragnet will move their way and want to hobble the campaign before it reaches them.

The Commission has broad powers to investigate and prosecute corruption cases, including wiretapping without a warrant. The Court has a reputation for handing down harsher sentences than Indonesia's regular justice system, which has been cited by Transparency International as one of the nation's most graft-ridden institutions.

The bill passed Tuesday allows the Court's staff of judges to include a majority from the regular justice system. Previously, the Court had to be staffed by a majority of non-career judges recruited from among practicing lawyers, university professors and retired prosecutors—a rule set because such a panel was seen to be more independent.

"The reputation of career judges for corruption cases in Indonesia is not good," said Eryanto Nugroho, a researcher at the Center for Indonesian Law and Policy Studies, an independent legal advocacy group.

The decision follows an effort by President Yudhoyono, after attending the Group of 20 summit in Pittsburgh, to drum up U.S. investment in Indonesia, one of the few economies expected to post positive economic growth this year.

Mr. Yudhoyono met business people in Boston over the weekend before giving a speech at Harvard University's John F. Kennedy School of Government. Trade Minister Mari Pangestu hosts an event Wednesday at Johns Hopkins University featuring presentations from senior Indonesian government officials and business figures.

Investors generally have grown more favorable toward Indonesia over the past year amid signs the nation is finally getting a handle on some of its biggest problems, including corruption and terrorism.

Any backtracking on those successes could curtail investor interest at a time when other Asian economies are recovering from the worst effects of the global economic slowdown. A spokesman for Mr. Yudhoyono wasn't immediately available for comment.

The bill was drafted by Indonesia's Ministry of Law and Human Rights and then debated in a parliamentary committee whose meetings aren't open to the public. All parties voted to pass the bill, but no politician has publicly taken credit for the bill, and no politician or party representative has acknowledged supporting the legislation.

Some politicians attempted to insert a clause into the bill that would have stripped the Commission of its power to prosecute graft cases at the Court, according to Nursyahbani Katjasungkana, a politician from the Islamic-based National Awakening Party, which is part of Mr. Yudhoyono's broad coalition government. She said her party and the Prosperous Justice Party, another Islamic-based coalition member, opposed the moves and that the clause was dropped. It wasn't possible to confirm her account.

The bill passed Tuesday also stipulated that all provinces must have corrupt-crimes courts within two years. Antigraft advocates say the deadline will be impossible to achieve without lowering standards, and fear that opponents of the anticorruption measures will use this as an opportunity to attack the special court system.

The system took another blow on Sept. 15, when Indonesian police named two senior officials of the Anticorruption Commission as suspects in a bribery case. Neither has been charged of a crime and both deny any wrongdoing. One of the two, Chandra Hamzah, a former litigation lawyer, is widely viewed as the driving force behind much of the Commission's successful work in recent years.

Police have confirmed the two are suspects but haven't made further comments about the case.

Tensions between the police and the Commission intensified in July after the Commission wiretappped the national police's head of criminal investigations, Susno Duadji, according to people familiar with the matter.

Write to Tom Wright at tom.wright@wsj.com

Duo Djoko Dibalik Kasus Cicak-Buaya (?)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan alasan mengapa mereka mencekal dan kemudian mencabut pencekalan Joko Tjandra. Joko Tjandra dicekal karena diduga mengalirkan uang ke Arthalyta Suryani, terpidana penyuap Jaksa Urip Tri Gunawan. Ternyata setelah diselidiki uang itu tidak mengalir ke Artalyta, tetapi ke sebuah yayasan berinisial KS. Itu sebabnya pencekalan itu dicabut. Artinya, Djoko tidak terkait dengan penyuapan Artalyta itu.

"Joker (Joko Tjandra) memberikan uang kepada Dirut PT Mulia Viadi Sutoyo dan Enang (kurir)," jelas salah satu Tim Pembela KPK, Ahmad Rifa'i. Uang senilai US$ 1 juta itu, kata dia kemudian diserahkan lagi ke pihak lain. "Diserahkan ke DS (menyebut nama seorang purnawirawan TNI) dari Yayasan KS," sambung Ahmad yang juga pengacara Chandra dan Bibit itu. Fakta ini, kata Ahmad, tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan. (Vivanews.com)

DS adalah Djoko Suyanto, mantan Panglima TNI dan KS adalah Yayasan Kesetiakawanan Sosial. Bersama sejumlah kawannya Djoko menjadi pembina yayasan itu. Karena DS adalah salah satu tokoh yang terlibat dalam tim sukses salah satu capres dalam pemilu kemarin, ini membuka 'teori' konspirasi baru.

Uang $1 Juta itu tidak sedikit, dan nama Yayasan KS ini sedikit membingungkan. Di sebuah artikel di Vivanews.com, nama yayasan itu disebut tidak konsisten. Di bagian atas menyebut KS, tapi di bagian bawah menyebut Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian, atau YKDK. Tentang YKDK bisa Anda lihat di sini, dan jelas menyebutkan nama Djoko Suyanto. Sementara tentang Yayasan KS, tidak ketemu web nya. Apakah itu dua yayasan berbeda, atau sama?

Marsekal (Purnawirawan) Djoko Suyanto sendiri membantah menerima US$ 1 juta dari Joko Soegiarto Tjandra. Sumbangan yang diterima adalah urusan dari Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. (Vivanews.com). Nah...

Untuk menambah seru imajinasi Anda tentang konspirasi baru yang mungkin ada, berikut ini saya co-pas kan Tim sukses SBY dalam Pilpres kemarin. Ulasan lain mengenai tim sukses SBY, juga ada di web lain, silakan klik link ini.

  1. Tim Echo: Mengadopsi fungsi teritorial di militer untuk mendongkrak suara Partai Demokrat di daerah. Tim ini ramping, hanya satu pemimpin di kabupaten/kota. Mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Djoko Suyanto jadi punggawanya.
  2. Gerakan Pro-SBY: Dideklarasikan Selasa pekan lalu. Ketua Umum GPS Suratto Siswodihardjo. Mantan Kapolri Sutanto, mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Herman Prayitno, Menkes Siti Fadilah Supari, Menhut MS Kaban, mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Suyono, dan mantan Kaster TNI Letjen (Purn) Agus Wijoyo jadi penasihat.
  3. Tim Sekoci: Penyokong Partai Demokrat menggapai perolehan suara mencapai 20 persen. Tim ini mendata tokoh masyarakat, pengusaha, tokoh agama, tokoh perempuan, petani, dan nelayan. Diketuai Komisaris Utama PT Indosat Soeprapto dan Irvan Edison.
  4. Tim Delta: Mengurusi semua perlengkapan kampanye. Dikomandoi mantan Asisten Logistik Panglima TNI Mayjen (Purn) Abikusno.
  5. Tim Romeo: Menjalin komunikasi dengan rakyat. Segala kebijakan SBY yang dianggap berhasil disosialisasikan kelompok yang dipimpin Mayjen (Purn) Sardan Marbun. Tim juga mengurus PO BOX 9949 dan SMS 9949.
  6. Tim Foxtrot: Konsultan politik Partai Demokrat. Lebih dikenal dengan Bravo Media Center dengan pengasuh utama Choel Mallarangeng yang juga Direktur Utama Fox Indonesia.
  7. Barisan Indonesia: Barindo adalah organisasi masyarakat diprakarsai Letjen TNI M Yasin. Akbar Tandjung ikut sebagai Ketua Dewan Pembina.
  8. Jaringan Nusantara: Dikelola sejumlah aktivis mahasiswa dan mantan aktivis mahasiswa, seperti Andi Arief, Harry Sebayang, dan Aam Sapulete.
  9. Yayasan Dzikir SBY Nurussalam: Dibina mantan Sekretaris Pribadi Presiden Kurdi Mustofa, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, juga Habib Abdul Rahman M al-Habsyi.

Selamat berimajinasi! :D


Sumber : prajnamu di politikana.com