Setahun Mencari Buaya

Kamis, 14 Oktober 2010
Oleh: Eryanto Nugroho *)

Agar persoalan Cicak vs Buaya tuntas, ada baiknya Presiden SBY untuk membaca ulang rekomendasi Tim 8 yang dibentuknya sendiri. Pejabat yang terlibat perlu diberi sanksi. Mereka yang ikut dalam orkestra rekayasa, tak layak pegang kuasa dan perlu dibuat jera.

Satu tahun lalu, tepatnya pada tanggal 15 September 2009 sore, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir dalam acara buka puasa bersama di Mabes Polri. Didampingi Kapolri Bambang Hendarso Danuri, acara ini rutin dilaksanakan setiap bulan Ramadhan di Gedung Rupatama Mabes Polri. Presiden SBY saat itu baru saja terpilih kembali, dipercaya oleh sebagian rakyat karena dianggap bercitra positif dalam pemberantasan korupsi.

Acara buka puasa bersama hari itu sesungguhnya bernuansa ironi. Tak berapa jauh dari tempat Presiden bersantap, dua Pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, tengah menjalani pemeriksaan atas dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Setelah diperiksa selama 14 jam, akhirnya mereka berdua ditetapkan sebagai tersangka pada tengah malam.

Penetapan tersangka kedua Pimpinan KPK ini merupakan satu momen penting yang menarik untuk dijadikan penanda. Penetapan itu seolah mensahkan dugaan publik bahwa ada genderang perang yang sedang ditabuh, untuk memberantas para pemberantas korupsi ini.

Kini satu tahun telah berselang, kedua Pimpinan KPK itu masih juga berstatus sebagai tersangka. Segala hingar bingar dan desakan publik dalam drama Cicak vs Buaya seolah tinggal jadi kisah usang tahun lalu. Dibatalkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Pengadilan mengembalikan semua rentetan kejadian ke posisi awal.

Batalnya SKPP sendiri tidaklah terlalu mengherankan. Kejaksaan memang seperti dibiarkan melakukan akrobat teknis hukum dengan menerbitkan SKPP problematik yang menekankan alasan sosiologis, bukan ketiadaan bukti, sebagai dasar penghentian penuntutan.

Situasi kembali ke posisi awal ini tentunya secara nyata telah membuang banyak energi bangsa ini. Skandal rekayasa hukum ini telah memakan biaya, tenaga, dan waktu terlalu banyak.

Untungnya dalam perjalanan kasus ini gerakan pemberantasan korupsi masih punya sedikit nasib baik. Seperti kita semua saksikan, sejak Chandra dan Bibit dijadikan tersangka, satu demi satu indikasi kuat bahwa kasus ini adalah rekayasa kriminalisasi, terus terbongkar dan terkuak di depan mata publik.

Hentakan paling dahsyat tentu yang terjadi pada 3 November 2009. Mahkamah Konstitusi memutar rekaman suara Anggodo Widjojo yang diduga berkonspirasi dengan beberapa pihak untuk melakukan rekayasa kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK.

Namun rekaman Anggodo yang saat itu membuka mata dan telinga publik soal keberadaan mafia hukum ternyata efeknya tak bertahan lama. Rekomendasi Tim 8 bentukan Presiden pun terbengkalai. Hasil kerja Tim 8 yang jelas menggambarkan kasus ini penuh rekayasa dan merekomendasikan pada Presiden agar memberi sanksi kepada “pejabat-pejabat yang bertanggungjawab dalam proses hukum yang dipaksakan”, tak juga jelas dalam implementasi.

Tidak adanya langkah penyelesaian yang tuntas telah mengakibatkan timbulnya rasa kebuntuan dan ketidakpercayaan masyarakat pada penegakkan hukum yang adil. Masyarakat malah kemudian dihujani lagi dengan berbagai indikasi rekayasa baru seperti simpang siurnya pernyataan Kapolri dan Jaksa Agung tentang keberadaan rekaman yang disebut melibatkan Ade Rahardja Deputi Penindakan KPK.

Rasa keadilan masyarakat makin koyak ketika menyaksikan polisi sempat melawan perintah pengadilan untuk menyerahkan rekaman. Drama rekaman pun berakhir janggal setelah polisi menyatakan yang dimiliki polisi hanyalah catatan daftar telpon atau Call Data Record (CDR) yang bahkan tidak diketahui hubungan telepon itu milik siapa.



I.C.A.C (I Corrupt All Cops)

Berlandaskan kisah nyata yang dialami oleh The Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong, sutradara Wong Jing membuat film berjudul “I Corrupt All Cops”. Film yang diluncurkan tahun 2009 ini menceritakan kisah perjuangan pendirian lembaga pemberantasan korupsi di negeri itu. Tidak bisa tidak, menyaksikan film yang berkisah tentang resistensi dari lembaga kepolisian Hongkong yang sangat korup saat itu, akan langsung mengingatkan kita pada situasi di Indonesia.

Film ini berkisah tentang busuknya kepolisian Hongkong pada tahun 70an. Dipimpin oleh Inspektur polisi Lak Chui (diperankan Tony Leung Ka-Fai), kesewenang-wenangan dan rekayasa merajalela. Kaki tangan Inspektur Lak, Gold (Wong Jing) dan Unicorn Tang (Anthony Wong Chau Sang), bisa memeras, menangkap, maupun menyiksa orang sesuka hati. Salah satu korban penyiksaan ini adalah Bong (Alex Fong) yang bersumpah akan menegakkan keadilan dan di kemudian hari bergabung dengan ICAC.

Film ini bisa menjadi bahan referensi dan refleksi kita dalam melihat konteks pemberantasan korupsi di Indonesia. Menyaksikan kisah polisi Unicorn Tang yang kemudian dibuang dan diasingkan karena pecah kongsi dengan Inspektur Lak, pasti langsung mengingatkan kita kepada Komjen Pol. Susno Duadji.

Unicorn Tang akhirnya direkrut oleh ICAC dan mengembangkan teknik interogasi ICAC berdasarkan “cara-cara kotor” yang ia pelajari di kepolisian. Pada bagian kisah ini, kita tahu nasib Susno Duadji berbeda.



Orkestra Rekayasa

Terang bahwa kebobrokan penegakkan hukum yang korup merupakan hasil dari banyak aktor dan proses yang berjalin kelindan. Jalinan pendukung korupsi ini kompak saling dukung dan saling menimpali. Dari rekaman konspirasi yang diputar di Mahkamah Konstitusi kita bisa melihat adanya jalinan korup yang rapat dan terencana. Ada lebih dari sepuluh nama yang muncul ataupun disebut dalam rekaman yang menghebohkan itu, termasuk nama Presiden SBY.

Semua kehebohan tahun lalu itu seperti menguap hilang disapu angin. Masyarakat seperti dipaksa untuk lupa. Masyarakat seakan diminta percaya bahwa semua jalinan rekayasa ini berujung hanya pada Anggodo Widjojo dan Susno Duadji semata.

Dari segenap fakta yang ada, bisa kita lihat bahwa nyanyian rekayasa dalam kasus ini bukan hanya duet mereka berdua. Rekayasa ini lebih mirip suatu orkestra sumbang yang kacau di tengah jalan. Selayaknya suatu orkestra, tentu ada banyak pihak yang terlibat. Dalam orkestra rekayasa ini, Susno Duadji mungkin dulu sempat pegang satu-dua instrumen penting, tapi jelas ia bukanlah sang konduktor.

Seandainya kisah Cicak vs Buaya ini difilmkan seperti kisah ICAC, mungkin film itu akan kebingungan di bagian akhir. Dalam film versi Indonesia, mungkin kita harus menerima akhir film yang menggambarkan Inspektur Lak dan gerombolannya pensiun dengan tenang, kaya raya, tanpa pernah harus mempertanggungjawabkan kejahatannya. And the crocodilles lived happily ever after, begitu mungkin teks penutup pada bagian akhir film versi kita.

Agar persoalan Cicak vs Buaya tuntas, ada baiknya Presiden SBY untuk membaca ulang rekomendasi Tim 8 yang dibentuknya sendiri. Pejabat yang terlibat perlu diberi sanksi. Mereka yang ikut dalam orkestra rekayasa, tak layak pegang kuasa dan perlu dibuat jera.

Kini Jaksa Agung Hendarman telah diberhentikan dengan hormat untuk satu sebab lain, Kapolri Bambang Hendarso Danuri pun akan menyusul segera dengan pensiun normal. Lantas siapa yang bertanggungjawab atas semua rekayasa ini?

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum saat ini merupakan suatu permasalahan yang harus dianggap serius oleh kita semua. Ketika sistem evaluasi dan pengawasan pejabat publik tidak berjalan dengan baik, publik harus terus berdayakan diri untuk desakkan standar profesionalisme dan akuntabilitas pejabat publik yang baik.

Kita perlu bangun garis pembeda yang tegas, antara pejabat publik yang baik dan pejabat publik yang ciderai mandat rakyat. Mengutip sindiran Presiden SBY kepada KPK yang diucapkan tiga bulan sebelum Chandra dan Bibit menjadi tersangka: Power must not go unchecked.



*) Penulis adalah Direktur Eksekutif PSHK – Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia.

Sumber: hukumonline.com

Pernyataan Sikap Bersama - Pelecehan terhadap Kekuasaan Kehakiman

Selasa, 03 Agustus 2010

Pernyataan Sikap Bersama

LeIP-PSHK-MTI-ICW-ILR

Pelecehan terhadap Kekuasaan Kehakiman:

Penolakan Polri soal Pembukaan Rekaman AR-AM di Pengadilan Tipikor

Hari ini, Bareskrim Polri semakin menunjukkan dirinya sebagai institusi otoriter dengan menolak perintah pengadilan tipikor untuk menghadirkan rekaman pembicaraan antara AR–AM di hadapan pengadilan tipikor Jakarta. Penolakan tersebut merupakan pelecehan (contempt of court) terhadap kekuasaan kehakiman oleh institusi kepolisian. Wibawa Pengadilan sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman yang menurut konstitusi merupakan kekuasaaan yang merdeka telah diruntuhkan oleh institusi kepolisian, hal ini meneguhkan posisi kepolisian sebagai salah satu lawan terberat bagi gerakan pemberantasan korupsi.

Pengadilan Tipikor Jakarta telah memerintahkan penuntut untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan antara AR dan AM di Sidang pengadilan Tipikor hari ini melalui Surat Penetapan Pengadilan Tipikor No. 13/PID.B/TPK/2010/PN.JKT.PST tanggal 21 Juli 2010. Pemutaran rekaman hasil penyadapan ini diperlukan untuk membuktikan hubungan adanya tindak pidana penyuapan yang dituduhkan kepada AW, lebih jauh lagi, pemutaran rekaman ini adalah salah satu jawaban atas upaya rekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK yang sudah memasuki babak baru. Namun, Rekaman yang digadang-gadang oleh Polisi sebagai bukti adanya upaya pemerasan oleh dia pimpinan KPK tersebut tidak kunjung diputar. Bahkan Kabareskrim menyatakan hendak menguji terlebih dahulu apakah perintah pengadilan tersebut melanggar undang-undang atau tidak!

Tindakan Kepolisian yang ingin menguji terlebih dahulu apakah perintah pengadilan tersebut melanggar undang-undang atau tidak serta relevan atau tidak dengan perkara tersebut jelas telah menunjukkan perbuatan yang melecehkan Kekuasaan Kehakiman. Apa jadinya negeri ini jika pengadilan sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman dapat dilecehkan sedemikian rupa oleh Institusi negara dalam cabang kekuasaan lainnya? Bukankah Presiden sebagai ‘atasan’ dari Kepolisian selalu mennyatakan bahwa Negara kita adalah Negara Hukum? Dalam Negara Hukum maka kekuasaan hukum tertinggi tentunya berada pada Kekuasaan Kehakiman, bukan Kepolisian. Tidak pada tempatnya kepolisian menguji apakah perintah pengadilan telah sesuai dengan hukum atau tidak!

Perbuatan Institusi kepolisian yang menolak perintah pengadilan tipikor dan mempertanyakan keabsahan perintah dari pengadilan tipikor tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berat. Oleh karena itu, kami menyatakan:

  1. Perbuatan Polri yang menolak perintah Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tipikor Jakarta merupakan bentuk pelecehan terhadap kekuasaan kehakiman (contempt of court);
  2. Mendesak Polri untuk segera menyerahkan hasil rekaman yang diperintahkan oleh pengadilan tipikor atau memperjelas keberadaan rekaman tersebut, ada atau tidak pernah ada.

catatan: Link Berita terkait : http://www.detiknews.com/read/2010/08/03/080519/1412239/10/kabareskrim-permintaan-rekaman-ade-ari-belum-bisa-dipenuhi

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

Indonesia Corruption Watch (ICW)

Indonesia Legal Roundtable (ILR)

MASIK KURANG JELAS?

Selasa, 22 Juni 2010

T.S.D.A

Kamis, 17 Juni 2010

Terus bergulirnya Dana Aspirasi Rp 15 Miliar, atau total Rp 8,4 dalam pembahasan Banggar adl bukti kebebalan elit politik, sikap inkonsistensi partai2 & bukti penipuan elit utk merampok uang rakyat. hhhhh..

Jika betul, anggota DPR peduli dengan rakyat di daerah. Rakyat di kantong-kantong kemiskinan. Ketimpangan anggaran antara pusat dan daerah. Seharusnya anggota DPR dapat melakukan tindakan politik yang lebih berani, jantan dan menunjukan wibawa sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Yang dimaksud dengan dana aspirasi seharusnya seluruh APBN yang nilainya Rp 1.009 triliun. Artinya, sebagai lembaga wakil rakyat, DPR harus mempu mengarahkan total APBN untuk kepentingan rakyat, untuk kepentingan konstituen, memperbaiki pelayanan publik, akses pendidikan dan kesehatan yang layak dan berkualitas bagi rakyat. Terutama rakyat miskin.

Pertanyaannya, jika DPR menganggap bahwa dana aspirasi itu hanya Rp 8,4 triliun, lantas untuk siapa APBN sebesar Rp 1000 triliun? Hal ini terbukti bahwa anggota DPR lemah, picik dan bodoh. Karena bagian terbesar dari anggaran dibiarkan untuk membiayai birokrasi yang gemuk, korup, dan lamban. DPR juga membiarkan anggaran lebih besar untuk kepentingan Kroni Parpol, Kroni Birokrasi dan para pemburu rente. Termasuk banyak anggota DPR yang datang dari kalangan pengusaha.

Dengan hanya mengusulkan Rp 15 miliar di bawah kekuasaan diskresional anggota DPR, terbukti bahwa Anggota DPR hanya peduli akan dirinya sendiri. Jauh dari gembar-gembor peduli rakyat. Peduli konstituen. Apalagi peduli daerah. Anggota DPR hanya menggunakan nama rakyat untuk dapat merampok anggaran negara untuk kepentingan kantong pribadi, membesarkan jaringan tradisional partai dan mengganti ongkos kampanye.

Daripada anggota DPR harus meminta tambahan alokasi dari APBN sebesar Rp 8,4 triliun. Daripada anggota DPR harus mengemis dan mengais dari sisa anggaran. Menjadi cengeng dan terhina karena tidak mampu berjuang untuk rakyat. Daripada anggota DPR harus merampok dan korupsi untuk mengganti uang kampanye.

Oleh : Illian Deta Arta Sari