Setahun Mencari Buaya

Kamis, 14 Oktober 2010
Oleh: Eryanto Nugroho *)

Agar persoalan Cicak vs Buaya tuntas, ada baiknya Presiden SBY untuk membaca ulang rekomendasi Tim 8 yang dibentuknya sendiri. Pejabat yang terlibat perlu diberi sanksi. Mereka yang ikut dalam orkestra rekayasa, tak layak pegang kuasa dan perlu dibuat jera.

Satu tahun lalu, tepatnya pada tanggal 15 September 2009 sore, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir dalam acara buka puasa bersama di Mabes Polri. Didampingi Kapolri Bambang Hendarso Danuri, acara ini rutin dilaksanakan setiap bulan Ramadhan di Gedung Rupatama Mabes Polri. Presiden SBY saat itu baru saja terpilih kembali, dipercaya oleh sebagian rakyat karena dianggap bercitra positif dalam pemberantasan korupsi.

Acara buka puasa bersama hari itu sesungguhnya bernuansa ironi. Tak berapa jauh dari tempat Presiden bersantap, dua Pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, tengah menjalani pemeriksaan atas dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Setelah diperiksa selama 14 jam, akhirnya mereka berdua ditetapkan sebagai tersangka pada tengah malam.

Penetapan tersangka kedua Pimpinan KPK ini merupakan satu momen penting yang menarik untuk dijadikan penanda. Penetapan itu seolah mensahkan dugaan publik bahwa ada genderang perang yang sedang ditabuh, untuk memberantas para pemberantas korupsi ini.

Kini satu tahun telah berselang, kedua Pimpinan KPK itu masih juga berstatus sebagai tersangka. Segala hingar bingar dan desakan publik dalam drama Cicak vs Buaya seolah tinggal jadi kisah usang tahun lalu. Dibatalkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Pengadilan mengembalikan semua rentetan kejadian ke posisi awal.

Batalnya SKPP sendiri tidaklah terlalu mengherankan. Kejaksaan memang seperti dibiarkan melakukan akrobat teknis hukum dengan menerbitkan SKPP problematik yang menekankan alasan sosiologis, bukan ketiadaan bukti, sebagai dasar penghentian penuntutan.

Situasi kembali ke posisi awal ini tentunya secara nyata telah membuang banyak energi bangsa ini. Skandal rekayasa hukum ini telah memakan biaya, tenaga, dan waktu terlalu banyak.

Untungnya dalam perjalanan kasus ini gerakan pemberantasan korupsi masih punya sedikit nasib baik. Seperti kita semua saksikan, sejak Chandra dan Bibit dijadikan tersangka, satu demi satu indikasi kuat bahwa kasus ini adalah rekayasa kriminalisasi, terus terbongkar dan terkuak di depan mata publik.

Hentakan paling dahsyat tentu yang terjadi pada 3 November 2009. Mahkamah Konstitusi memutar rekaman suara Anggodo Widjojo yang diduga berkonspirasi dengan beberapa pihak untuk melakukan rekayasa kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK.

Namun rekaman Anggodo yang saat itu membuka mata dan telinga publik soal keberadaan mafia hukum ternyata efeknya tak bertahan lama. Rekomendasi Tim 8 bentukan Presiden pun terbengkalai. Hasil kerja Tim 8 yang jelas menggambarkan kasus ini penuh rekayasa dan merekomendasikan pada Presiden agar memberi sanksi kepada “pejabat-pejabat yang bertanggungjawab dalam proses hukum yang dipaksakan”, tak juga jelas dalam implementasi.

Tidak adanya langkah penyelesaian yang tuntas telah mengakibatkan timbulnya rasa kebuntuan dan ketidakpercayaan masyarakat pada penegakkan hukum yang adil. Masyarakat malah kemudian dihujani lagi dengan berbagai indikasi rekayasa baru seperti simpang siurnya pernyataan Kapolri dan Jaksa Agung tentang keberadaan rekaman yang disebut melibatkan Ade Rahardja Deputi Penindakan KPK.

Rasa keadilan masyarakat makin koyak ketika menyaksikan polisi sempat melawan perintah pengadilan untuk menyerahkan rekaman. Drama rekaman pun berakhir janggal setelah polisi menyatakan yang dimiliki polisi hanyalah catatan daftar telpon atau Call Data Record (CDR) yang bahkan tidak diketahui hubungan telepon itu milik siapa.



I.C.A.C (I Corrupt All Cops)

Berlandaskan kisah nyata yang dialami oleh The Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong, sutradara Wong Jing membuat film berjudul “I Corrupt All Cops”. Film yang diluncurkan tahun 2009 ini menceritakan kisah perjuangan pendirian lembaga pemberantasan korupsi di negeri itu. Tidak bisa tidak, menyaksikan film yang berkisah tentang resistensi dari lembaga kepolisian Hongkong yang sangat korup saat itu, akan langsung mengingatkan kita pada situasi di Indonesia.

Film ini berkisah tentang busuknya kepolisian Hongkong pada tahun 70an. Dipimpin oleh Inspektur polisi Lak Chui (diperankan Tony Leung Ka-Fai), kesewenang-wenangan dan rekayasa merajalela. Kaki tangan Inspektur Lak, Gold (Wong Jing) dan Unicorn Tang (Anthony Wong Chau Sang), bisa memeras, menangkap, maupun menyiksa orang sesuka hati. Salah satu korban penyiksaan ini adalah Bong (Alex Fong) yang bersumpah akan menegakkan keadilan dan di kemudian hari bergabung dengan ICAC.

Film ini bisa menjadi bahan referensi dan refleksi kita dalam melihat konteks pemberantasan korupsi di Indonesia. Menyaksikan kisah polisi Unicorn Tang yang kemudian dibuang dan diasingkan karena pecah kongsi dengan Inspektur Lak, pasti langsung mengingatkan kita kepada Komjen Pol. Susno Duadji.

Unicorn Tang akhirnya direkrut oleh ICAC dan mengembangkan teknik interogasi ICAC berdasarkan “cara-cara kotor” yang ia pelajari di kepolisian. Pada bagian kisah ini, kita tahu nasib Susno Duadji berbeda.



Orkestra Rekayasa

Terang bahwa kebobrokan penegakkan hukum yang korup merupakan hasil dari banyak aktor dan proses yang berjalin kelindan. Jalinan pendukung korupsi ini kompak saling dukung dan saling menimpali. Dari rekaman konspirasi yang diputar di Mahkamah Konstitusi kita bisa melihat adanya jalinan korup yang rapat dan terencana. Ada lebih dari sepuluh nama yang muncul ataupun disebut dalam rekaman yang menghebohkan itu, termasuk nama Presiden SBY.

Semua kehebohan tahun lalu itu seperti menguap hilang disapu angin. Masyarakat seperti dipaksa untuk lupa. Masyarakat seakan diminta percaya bahwa semua jalinan rekayasa ini berujung hanya pada Anggodo Widjojo dan Susno Duadji semata.

Dari segenap fakta yang ada, bisa kita lihat bahwa nyanyian rekayasa dalam kasus ini bukan hanya duet mereka berdua. Rekayasa ini lebih mirip suatu orkestra sumbang yang kacau di tengah jalan. Selayaknya suatu orkestra, tentu ada banyak pihak yang terlibat. Dalam orkestra rekayasa ini, Susno Duadji mungkin dulu sempat pegang satu-dua instrumen penting, tapi jelas ia bukanlah sang konduktor.

Seandainya kisah Cicak vs Buaya ini difilmkan seperti kisah ICAC, mungkin film itu akan kebingungan di bagian akhir. Dalam film versi Indonesia, mungkin kita harus menerima akhir film yang menggambarkan Inspektur Lak dan gerombolannya pensiun dengan tenang, kaya raya, tanpa pernah harus mempertanggungjawabkan kejahatannya. And the crocodilles lived happily ever after, begitu mungkin teks penutup pada bagian akhir film versi kita.

Agar persoalan Cicak vs Buaya tuntas, ada baiknya Presiden SBY untuk membaca ulang rekomendasi Tim 8 yang dibentuknya sendiri. Pejabat yang terlibat perlu diberi sanksi. Mereka yang ikut dalam orkestra rekayasa, tak layak pegang kuasa dan perlu dibuat jera.

Kini Jaksa Agung Hendarman telah diberhentikan dengan hormat untuk satu sebab lain, Kapolri Bambang Hendarso Danuri pun akan menyusul segera dengan pensiun normal. Lantas siapa yang bertanggungjawab atas semua rekayasa ini?

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum saat ini merupakan suatu permasalahan yang harus dianggap serius oleh kita semua. Ketika sistem evaluasi dan pengawasan pejabat publik tidak berjalan dengan baik, publik harus terus berdayakan diri untuk desakkan standar profesionalisme dan akuntabilitas pejabat publik yang baik.

Kita perlu bangun garis pembeda yang tegas, antara pejabat publik yang baik dan pejabat publik yang ciderai mandat rakyat. Mengutip sindiran Presiden SBY kepada KPK yang diucapkan tiga bulan sebelum Chandra dan Bibit menjadi tersangka: Power must not go unchecked.



*) Penulis adalah Direktur Eksekutif PSHK – Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia.

Sumber: hukumonline.com

Pernyataan Sikap Bersama - Pelecehan terhadap Kekuasaan Kehakiman

Selasa, 03 Agustus 2010

Pernyataan Sikap Bersama

LeIP-PSHK-MTI-ICW-ILR

Pelecehan terhadap Kekuasaan Kehakiman:

Penolakan Polri soal Pembukaan Rekaman AR-AM di Pengadilan Tipikor

Hari ini, Bareskrim Polri semakin menunjukkan dirinya sebagai institusi otoriter dengan menolak perintah pengadilan tipikor untuk menghadirkan rekaman pembicaraan antara AR–AM di hadapan pengadilan tipikor Jakarta. Penolakan tersebut merupakan pelecehan (contempt of court) terhadap kekuasaan kehakiman oleh institusi kepolisian. Wibawa Pengadilan sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman yang menurut konstitusi merupakan kekuasaaan yang merdeka telah diruntuhkan oleh institusi kepolisian, hal ini meneguhkan posisi kepolisian sebagai salah satu lawan terberat bagi gerakan pemberantasan korupsi.

Pengadilan Tipikor Jakarta telah memerintahkan penuntut untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan antara AR dan AM di Sidang pengadilan Tipikor hari ini melalui Surat Penetapan Pengadilan Tipikor No. 13/PID.B/TPK/2010/PN.JKT.PST tanggal 21 Juli 2010. Pemutaran rekaman hasil penyadapan ini diperlukan untuk membuktikan hubungan adanya tindak pidana penyuapan yang dituduhkan kepada AW, lebih jauh lagi, pemutaran rekaman ini adalah salah satu jawaban atas upaya rekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK yang sudah memasuki babak baru. Namun, Rekaman yang digadang-gadang oleh Polisi sebagai bukti adanya upaya pemerasan oleh dia pimpinan KPK tersebut tidak kunjung diputar. Bahkan Kabareskrim menyatakan hendak menguji terlebih dahulu apakah perintah pengadilan tersebut melanggar undang-undang atau tidak!

Tindakan Kepolisian yang ingin menguji terlebih dahulu apakah perintah pengadilan tersebut melanggar undang-undang atau tidak serta relevan atau tidak dengan perkara tersebut jelas telah menunjukkan perbuatan yang melecehkan Kekuasaan Kehakiman. Apa jadinya negeri ini jika pengadilan sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman dapat dilecehkan sedemikian rupa oleh Institusi negara dalam cabang kekuasaan lainnya? Bukankah Presiden sebagai ‘atasan’ dari Kepolisian selalu mennyatakan bahwa Negara kita adalah Negara Hukum? Dalam Negara Hukum maka kekuasaan hukum tertinggi tentunya berada pada Kekuasaan Kehakiman, bukan Kepolisian. Tidak pada tempatnya kepolisian menguji apakah perintah pengadilan telah sesuai dengan hukum atau tidak!

Perbuatan Institusi kepolisian yang menolak perintah pengadilan tipikor dan mempertanyakan keabsahan perintah dari pengadilan tipikor tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berat. Oleh karena itu, kami menyatakan:

  1. Perbuatan Polri yang menolak perintah Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tipikor Jakarta merupakan bentuk pelecehan terhadap kekuasaan kehakiman (contempt of court);
  2. Mendesak Polri untuk segera menyerahkan hasil rekaman yang diperintahkan oleh pengadilan tipikor atau memperjelas keberadaan rekaman tersebut, ada atau tidak pernah ada.

catatan: Link Berita terkait : http://www.detiknews.com/read/2010/08/03/080519/1412239/10/kabareskrim-permintaan-rekaman-ade-ari-belum-bisa-dipenuhi

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

Indonesia Corruption Watch (ICW)

Indonesia Legal Roundtable (ILR)

MASIK KURANG JELAS?

Selasa, 22 Juni 2010

T.S.D.A

Kamis, 17 Juni 2010

Terus bergulirnya Dana Aspirasi Rp 15 Miliar, atau total Rp 8,4 dalam pembahasan Banggar adl bukti kebebalan elit politik, sikap inkonsistensi partai2 & bukti penipuan elit utk merampok uang rakyat. hhhhh..

Jika betul, anggota DPR peduli dengan rakyat di daerah. Rakyat di kantong-kantong kemiskinan. Ketimpangan anggaran antara pusat dan daerah. Seharusnya anggota DPR dapat melakukan tindakan politik yang lebih berani, jantan dan menunjukan wibawa sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Yang dimaksud dengan dana aspirasi seharusnya seluruh APBN yang nilainya Rp 1.009 triliun. Artinya, sebagai lembaga wakil rakyat, DPR harus mempu mengarahkan total APBN untuk kepentingan rakyat, untuk kepentingan konstituen, memperbaiki pelayanan publik, akses pendidikan dan kesehatan yang layak dan berkualitas bagi rakyat. Terutama rakyat miskin.

Pertanyaannya, jika DPR menganggap bahwa dana aspirasi itu hanya Rp 8,4 triliun, lantas untuk siapa APBN sebesar Rp 1000 triliun? Hal ini terbukti bahwa anggota DPR lemah, picik dan bodoh. Karena bagian terbesar dari anggaran dibiarkan untuk membiayai birokrasi yang gemuk, korup, dan lamban. DPR juga membiarkan anggaran lebih besar untuk kepentingan Kroni Parpol, Kroni Birokrasi dan para pemburu rente. Termasuk banyak anggota DPR yang datang dari kalangan pengusaha.

Dengan hanya mengusulkan Rp 15 miliar di bawah kekuasaan diskresional anggota DPR, terbukti bahwa Anggota DPR hanya peduli akan dirinya sendiri. Jauh dari gembar-gembor peduli rakyat. Peduli konstituen. Apalagi peduli daerah. Anggota DPR hanya menggunakan nama rakyat untuk dapat merampok anggaran negara untuk kepentingan kantong pribadi, membesarkan jaringan tradisional partai dan mengganti ongkos kampanye.

Daripada anggota DPR harus meminta tambahan alokasi dari APBN sebesar Rp 8,4 triliun. Daripada anggota DPR harus mengemis dan mengais dari sisa anggaran. Menjadi cengeng dan terhina karena tidak mampu berjuang untuk rakyat. Daripada anggota DPR harus merampok dan korupsi untuk mengganti uang kampanye.

Oleh : Illian Deta Arta Sari

Bibit-Chandra Tersangka Lagi

Senin, 19 April 2010
PN Jaksel Kabulkan Praperadilan
Selasa, 20 April 2010 | 03:45 WIB

Jakarta, Kompas - Dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, Senin (19/4), kembali berstatus sebagai tersangka. Bahkan, berkas perkara keduanya harus dilimpahkan ke pengadilan sesuai putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Hari Senin, hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Nugroho Setyadi, memutuskan menerima permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo. Tersangka kasus upaya penyuapan dan menghalangi penyelidikan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu mempraperadilankan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) dari kejaksaan terhadap Bibit dan Chandra. Pimpinan KPK itu sebelumnya diduga menerima suap dan melakukan upaya pemerasan. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya SKPP adalah sosiologis masyarakat.

Menurut hakim, aspek sosiologis tak pernah menjadi alasan untuk penerbitan SKPP. Anggodo juga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan itu sehingga permohonannya dikabulkan. Kejaksaan diperintahkan segera melimpahkan berkas Chandra dan Bibit ke pengadilan.

Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR, T Gayus Lumbuun, menilai, putusan PN Jakarta Selatan itu kian menguatkan bahwa memang ada yang kurang tepat saat kejaksaan menyatakan berkas perkara Bibit dan Chandra sudah lengkap. ”Padahal, masih ada missing link, yaitu orang yang diduga menyerahkan uang kepada Bibit dan Chandra. Ini, kan, belum ketemu,” katanya.

Menurut Gayus, Jaksa Agung Hendarman Supandji tak pernah memberikan jawaban soal missing link itu. Akibatnya, bisa diduga, penerbitan SKPP terhadap kasus Bibit dan Chandra adalah berdasarkan kompromi, bukan hukum, sehingga bisa dipatahkan dalam praperadilan.

Upayakan banding

Secara terpisah, Senin di Jakarta, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy mengemukakan, masih ada upaya banding terhadap putusan PN Jakarta Selatan itu. Selain menggugat kejaksaan, Anggodo yang diwakili kuasa hukumnya, Bonaran Situmeang, juga menggugat kepolisian.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menambahkan, kejaksaan dipastikan melakukan upaya banding terhadap putusan PN Jakarta Selatan itu. Banding akan dilakukan setelah kejaksaan menerima salinan putusan.

Bonaran mengatakan, putusan PN Jakarta Selatan itu bukan untuk Anggodo, melainkan kemenangan hukum. ”Ternyata hukum masih bisa berdiri tegak di Indonesia. SKPP tak bisa digunakan untuk menghentikan berkas perkara yang lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan, seperti berkas perkara Bibit dan Chandra,” kata dia.

Sebaliknya, KPK berharap kejaksaan konsisten dengan sikap mereka saat mengeluarkan SKPP dengan mengajukan upaya banding. ”Kita tentu hormati proses hukum. Dalam perkara ini KPK bukan termohon. Termohon adalah kejaksaan,” tutur Kepala Biro Hukum KPK Khaidir Ramli.

Bibit menambahkan, ia dalam posisi pasif dalam kasus ini. ”Mudah-mudahan kejaksaan melakukan banding. Yang jelas, kasus yang dituduhkan ke saya itu rekayasa,” ujarnya.

Bibit menambahkan, siapa pihak yang merekayasa sudah jelas kelihatan pada sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 3 November 2009.

Mantan kuasa hukum Chandra dan Bibit, Bambang Widjojanjo, mengatakan, proses peradilan yang memenangkan Anggodo mengabaikan fakta hukum yang didapat secara jelas di MK. ”Di MK jelas ada keterlibatan Anggodo dalam mengkriminalkan Bibit dan Chandra,” ungkapnya.

Bambang menambahkan, praperadilan harus diimbangi dengan sikap KPK untuk menuntaskan upaya penyuapan dan menghalangi penyidikan korupsi dengan Anggodo sebagai tersangkanya.

Ia juga berharap kejaksaan dalam waktu dekat melakukan banding. Bibit dan Chandra selaku pihak ketiga tak dapat melakukan upaya hukum langsung terhadap putusan praperadilan itu.

Delegitimasi KPK

Bambang juga mengkhawatirkan implikasi putusan praperadilan itu adalah delegitimasi terhadap KPK kian nyata.

Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia Teten Masduki menilai, diterimanya praperadilan Anggodo akan membawa konsekuensi ke kinerja KPK. ”Dari segi waktu dan pikiran, Bibit dan Chandra akan disibukkan lagi dengan proses hukum kasusnya,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Teten, harus dipikirkan solusinya secara obyektif oleh pimpinan dan internal KPK. ”Ada kecurigaan pelemahan KPK pascakasus Miranda S Goeltom (dugaan suap kepada anggota DPR terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia) dan Bank Century, biarkan pimpinan KPK dan jajaran internalnya untuk menentukan sikap apakah perlu menambah pimpinan baru atau tidak. Untuk menjaga independensi KPK, semua pihak harus menghormati putusan KPK ini,” papar Teten.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mengungkapkan, putusan PN Jakarta Selatan harus dihormati karena pengadilan adalah lembaga yang merdeka, tidak bisa diintervensi kekuasaan mana pun, tetapi ia akan mempelajari putusan itu.

Menurut Denny, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyimak pemberitaan terkait putusan PN Jakarta Selatan itu. Kalau memang perlu, Presiden akan memberikan tanggapannya melalui juru bicara.

Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding, berharap kinerja KPK tidak banyak terganggu setelah PN Jakarta Selatan, Senin, membatalkan SKPP terhadap Bibit dan Chandra. Kasus ini jangan sampai membuat KPK disibukkan dengan dirinya sendiri lalu melalaikan pengusutan sejumlah kasus, seperti Bank Century. KPK tetap harus bekerja hingga kemungkinan adanya upaya pelemahan KPK di balik kasus itu dapat digagalkan.

Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mempersilakan kejaksaan mengajukan banding atas putusan pengadilan itu. Jika putusan dinilai tidak sesuai hukum, Komisi Yudisial bisa melakukan eksaminasi dan publik melakukan penilaian. (idr/aik/nwo/sf/day/tra)

Makelar di Markas Besar

Minggu, 11 April 2010
Wahyu Dhyatmika, Maria Hasugian (Jakarta), S.G. Wibisono (Balikpapan), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

KANTOR PT Fankhaus Far East di Gedung Selmis, tepat di sebelah stasiun kereta api Tebet, Jakarta Selatan, tampak lengang. Kaca gelap dan pintu gulung membuat penampilan kantor konsultan manajemen itu kontras dengan hiruk-pikuk deret an warung soto dan penjual bakso di kanan-kirinya. Tidak ada penanda apa pun di depannya. Hanya tempelan stiker merah menyala berlambang panah dengan tulisan ”Bareskrim”.

Para penyewa ruangan di perkantoran Selmis mengenal pemilik Fankhaus sebagai ”Pak Jenderal”. Seorang anggota staf di satu kantor fi rma hukum di sana bahkan menjelaskan kantor itu biasa dijaga polisi militer. ”Dia memang sudah lama di sini,” katanya. Tapi, Jumat pekan lalu, hanya ada dua pria penunggu kantor itu. Saat Tempo masuk, ruang depan kantor itu kosong melompong dan berdebu.

Di ruangan sebelah, bertumpuk-tumpuk kursi, meja, buku, dan perabot lain. Semua barang itu ditumpuk sekena nya, membuat ruangan mirip gudang penyimpanan. Bahkan kemeja dan kaus digantung di sana-sini. Sekilas, sulit untuk percaya bahwa kantor itu milik seorang bekas diplomat yang dikenal dekat dengan petinggi hukum di negeri ini: Sjahril Djohan.

”Lagi sepi, Mas,” kata si penjaga kantor, pria kurus tinggi dengan rambut sedikit gondrong, saat ditanya soal kondisi kantornya yang mengenaskan. Setelah menanyakan maksud kedatangan Tempo, dia menghubungi seseorang melalui telepon. Lima menit kemudian, telepon berdering.

”Pak Sjahril tidak ada,” kata suara di seberang. Suara perempuan bernada tegas. Dia lalu setengah memerintah, ”Tinggalkan saja nomor telepon Anda, nanti saya hubungi.” Telepon ditutup. Tak sampai semenit, mendadak telepon berdering lagi. Perempuan yang sama di ujung telepon. ”Nama saya cuma untuk Anda. Jangan sebut-sebut nama saya.”

WAJAH Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji mendadak tegang. ”Saya sudah menghitung risiko tindakan saya,” katanya. ”Mati pun saya tidak takut,” katanya lagi. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ini memandang wajah para anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di sekelilingnya, dengan sorot mata tajam. Keringat bercucuran di keningnya.

Kamis pekan lalu, setelah sempat tiarap beberapa saat, didampingi belasan pengacara, Susno muncul di Senayan. Sepekan sebelumnya, pria asal Pagar Alam, Sumatera Selatan, ini memang sudah mengajukan surat permohonan perlindungan hukum ke parlemen. ”Soalnya, klien saya mau diadili secara in absentia di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri,” kata kuasa hukum Susno, Henry Yosodiningrat.

Di tengah pertemuan dengan Komisi Hukum inilah Susno meledakkan ”bom nuklir”-nya yang kedua. Mafi a hukum dalam kasus Gayus Tambunan yang ia ledakkan sebelumnya tak hanya beraksi sekali. Kelompok yang sama bermain dalam kasus pidana PT Salmah Arwana Lestari di Pekanbaru.

”Andi Kosasihnya sama, Haposannya sama, jaksanya sama, dan Mr X-nya juga sama,” kata Susno. Nilai kasus ini jauh lebih besar daripada kasus Gayus Tambunan yang ”hanya” Rp 28 miliar. Modal awal perusahaan itu mencapai Rp 100 miliar dengan investasi tambahan berupa bibit ikan arwana dan tenaga ahli senilai Rp 32 miliar. Menurut Susno, modus permainan makelar kasus dalam perkara PT Salmah Arwana adalah meng ubah kasus perdata menjadi pidana.

Tak hanya menyebut nama dan kasus baru, Susno membongkar jejaring makelar kasus di Trunojoyo, markas besar hamba wet. Mr X dekat dengan MP, jenderal bintang tiga di kepolisian. Setelah sempat diprotes kanankiri karena menyamarkan tokoh-tokoh kunci ini dengan inisial, Susno akhirnya mengalah. Dia membuka identitas terang X dan MP dalam rapat tertutup.

Seusai rapat, sejumlah politikus membenarkan bahwa yang dimaksud Susno sebagai Mr X adalah Sjahril Djohan, sementara MP adalah Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara, mantan Wakil Kepala Polri. Pagipagi, Makbul sudah membantah. ”Segala aktivitas SJ tidak ada kaitannya dengan saya,” tulis Makbul dalam pesan pendek yang disebarkan kepada jurnalis.

Tak hanya diduga piawai memelintir kasus, jejaring makelar kasus yang dipimpin Sjahril ini dituding punya kekuasaan luar biasa besar. Mereka bisa memindahkan pejabat polisi yang menolak bekerja sama. Begitu Susno membeberkan peran Sjahril, informasi pun mengalir. Satu sumber Tempo berbisik, Sjahril Djohan bermain dalam penerbitan surat perintah penghentian penyidikan dalam kasus penyerobotan lahan pertambangan milik Porodisa oleh Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur, dua tahun lalu.

Jejak Haposan dan kawan-kawan juga tercium dalam kempisnya kasus dugaan suap atas Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar yang diungkap Komisaris Besar Tubagus Irman Santosa, berkaitan dengan penyidikan kasus L/C bodong BNI, empat tahun lalu. Saat itu, Haposan adalah kuasa hukum Irman. Kasus itu menguap karena kurang bukti.

Komplotan ini juga dituduh bermain dalam pencairan fulus milik Tommy Soeharto di BNP Paribas senilai US$ 10 juta pada 2007. Pencairan ini mulus berkat bantuan para pejabat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketika itu, Haposan dituduh mencoba memeras kuasa hukum Tommy, Hidayat Achyar (lihat ”Bancakan Laporan Bocor”).

Tak aneh jika anggota Komisi Hukum terpesona mendengar cerita Susno. ”Jaringan mafi a ini melibatkan seluruh institusi penegak hukum. Semua datanya ada di Pak Susno,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani. ”Kalau benar Mr X adalah sutradaranya, ini adalah kejahatan paripurna dari hulu sampai hilir.”

TIDAK mudah masuk ke kawasan penangkaran ikan arwana milik PT Salmah Arwana Lestari di Desa Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, sekitar 40 kilometer di utara Pekanbaru. Tiga orang petugas keamanan melarang siapa pun mendekat. ”Tidak punya izin tidak boleh masuk,” kata satu petugas berbadan kekar.

Total ada 34 kolam ikan di lokasi peternakan arwana seluas 20 hektare itu. Pagar kawat setinggi tiga meter membatasi orang yang ingin mendekat. Peternakan itu juga dilengkapi laboratorium pembibitan dan pembesaran ikan arwana.

Perkara pidana yang membelit perusahaan ini berawal dari pecah kongsinya dua pemilik PT Salmah: Anwar Salmah alias Amo, 61 tahun, pengusaha lokal di Riau, dan Ho Kian Huat, pengusaha asal Singapura. Pada 1992, mereka sepakat bekerja sama mendirikan perusahaan bernama CV Sumatera Aquaprima—belakangan berganti nama menjadi PT Sumatera Aquaprima Buana.

Dalam skema kongsi ini, Ho Kian Huat menyiapkan modal usaha serta mendatangkan bibit dan induk ikan arwana dari Singapura, sementara Amo menyiapkan lokasi di Indonesia. Total dana yang digelontorkan Ho Kian saat itu sekitar Rp 130 miliar. Pada 1993, dia juga mengirim sekitar 1.500 anak ikan arwana, jenis super red, cross back golden, dan golden red, untuk dikembangbiakkan di Pekanbaru. Kerja sama berjalan mulus sampai sepuluh tahun. Amo mengembangbiakkan ikan-ikan arwana, sementara Ho Kian menjualnya ke Cina, Jepang, Amerika, dan Eropa dengan bendera per usahaannya sendiri, Rainbow Aquarium. Sengketa muncul pada 2002 saat Amo memutuskan jalan sendiri dan mulai potong kompas: menjual langsung arwana ke Jepang.

Ho Kian, yang merasa ditipu, mengadukan Amo ke Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan. Pengacara yang membantu Ho Kian untuk perkara ini adalah Haposan Hutagalung. Pada Maret 2008, pengacara Amo, Johny Irianto, balik melaporkan Ho Kian ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. ”Kami tidak mau dituding melakukan penggelapan,” kata Johny.

Amo juga menggugat Ho Kian secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun lalu, majelis hakim memenangkan Amo dalam sengketa ini. Putusan pengadilan negeri ini dikuatkan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Di sini kejanggalan mulai muncul. Johny mengaku heran mengapa polisi ngotot meneruskan kasus pidana yang dilaporkan Ho Kian. ”Padahal, dengan adanya keputusan perdata yang memenangkan kami, seharusnya kasus pidananya batal demi hukum,” katanya.

Keanehan inilah yang juga dicium Susno. ”Sejak awal, saya yakin ini kasus perdata,” kata Susno Duadji saat bersaksi di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Dia menilai tidak ada alasan untuk menindaklanjuti pengaduan pidana Ho Kian. Pengaduan Ho Kian dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Ketika kasus ini terjadi, Susno belum menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal, melainkan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi membantah tudingan Susno soal makelar kasus dalam perkara ini. ”Kasus pidana yang diadukan Ho Kian memang sudah lengkap, tapi kasus yang diadukan Amo juga kami proses,” kata Ito. ”Kita uji saja nanti di pengadilan. Kalau lemah, pasti ada rekayasa,” katanya.

SELAIN bisa mengubah kasus perdata menjadi pidana, trio makelar kasus Sjahril Djohan dkk dituding bisa menyulap kasus pidana menjadi perdata. Kasus dugaan penyerobotan la han pertambangan di Kalimantan Timur milik PT Porodisa Trading and Industrial oleh PT Kaltim Prima Coal disebut-sebut sebagai contohnya. Kasus ini mencuat pada 2008 ketika Porodisa mengadukan tindakan Kaltim Prima Coal membuka enam kawasan pertambangan di area hutan seluas

8.480 hektare yang mereka kuasai. Ketika itu, lembaga advokasi lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup, menuding anak perusahaan Bumi Resources itu tidak mengantongi izin hak pemanfaatan hutan. ”Seharusnya KPC mengurus izin ini terlebih dahulu,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Izal Wardana saat kasus ini mulai mencuat.

Pengaduan Porodisa ditanggapi baik oleh polisi. Kepala Polda Kalimantan Timur saat itu, Inspektur Jenderal Indarto, menetapkan Manajer TambangKaltim Prima Coal R. Utoro sebagai tersangka. Namun mendadak angin berbalik pada Agustus 2008.

Indarto dicopot dua bulan sebelum pensiun dan digantikan Inspektur Jenderal Andi Masmiyat. ”Sejak itu, penanganan kasus KPC mandek,” kata Izal. Tak hanya mandek. Begitu dilantik, Kepala Polda yang baru langsung mencabut status tersangka Utoro. Tiga bulan kemudian, Masmiyat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan untuk kasus Kaltim Prima Coal. ”Ini hanya masalah perdata,” katanya ketika itu.

Indarto sendiri, kini pensiun, menolak berkomentar soal insiden itu. ”Itu sudah dua tahun lalu,” katanya pekan lalu. Dia mengaku kenal dengan Sjahril Djohan. ”Waktu saya masih di Bareskrim, dia sering ada di sana,” ujarnya. Seorang sumber Tempo menduga Sjahril Djohan berperan dalam pencopotan Indarto. Soal ini, Indarto justru yang membantah. ”Pencopotan saya adalah kewenangan penuh Kapolri,” katanya kalem.

PENGACARA Haposan, John Panggabean, tidak terima kliennya disebut sebagai makelar kasus. ”Ini pembunuhan karakter,” katanya saat ditemui Jumat pekan lalu. Menurut John, Haposan adalah advokat berpengalaman yang rekam jejaknya lurus. ”Dia menerima semua perkara, dari yang tidak ada duitnya macam kasus mutilasi anak jalanan sampai kasus korupsi BNI,” ujarnya. Karena itulah nama Haposan bertebaran dalam kasus-kasus besar. ”Jaringannya memang luas,” katanya. ”Masak karena itu dia dituduh sebagai makelar kasus?” Menurut John, peran Haposan dalam kasus Gayus Tambunan juga semata-mata untuk membela kliennya.

”Dia tidak terlibat merekayasa pengakuan Andi Kosasih,” ujarnya. Ketua Persatuan Advokat Indonesia Otto Hasibuan, yang juga ketua tim kuasa hukum Haposan, balik menuding polisi tidak cermat menyusun sangkaan atas kliennya. ”Kalau dia turut serta menyuap, siapa yang disuap? Tolong beri tahu saya,” katanya keras. Meski menolak semua tuduhan, tim pembela Haposan membenarkan satu hal: Haposan memang kenal dengan Andi Kosasih. ”Mereka kenal saat menangani kasus PT Salmah Arwana Lestari,” kata John Panggabean. Namun dia tak bisa memerinci bentuk kerja sama Andi dan Haposan saat itu.

Kuasa hukum Andi Kosasih, O.C. Kaligis, belum mau banyak berkomentar soal kliennya. Telepon dan pesan pendek Tempo tidak berbalas. ”Kita tunggu dulu hasil pemeriksaan,” katanya kepada sejumlah jurnalis, dua pekan lalu. Andi Kosasih disangka terlibat dalam kongkalikong yang membebaskan Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Pajak Golongan IIIa yang memiliki rekening Rp 28 miliar.

Dari tiga tertuduh komplotan makelar kasus yang dibongkar Susno, memang tinggal Sjahril Djohan yang belum
jelas sosoknya. Ada kabar, eks diplomat yang dikenal punya kemampuan intelijen ini sudah mengungsi ke Perth, Australia. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung, yang pernah mengangkat Sjahril sebagai anggota staf ahli Kejaksaan Agung pada 2001, mengaku tak yakin akan akurasi tuduhan Susno. ”Tidak masuk akal,” katanya pekan lalu. ”Saya kenal dia sebagai pribadi berkarakter baik.”

Seorang pejabat yang menolak disebut namanya membenarkan. ”Sjahril Djohan membantu polisi mengungkap kasus korupsi di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, kasus manipulasi tiket di Kementerian Luar Negeri, dan banyak kasus korupsi lain,” katanya. Tujuh tahun lalu, namanya pernah dimuat majalah Tempo karena mengungkap aset-aset yang ditinggalkan koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja, di Australia.

Ketika itu, Tempo sempat mewawancarainya di kantor PT Fankhaus di perkantoran Selmis, Tebet. Saat pekan lalu Tempo datang lagi ke sana, staf Sjahril masih ingat pada wawancara itu. ”Semua ini salah besar,” kata si penjaga kantor sambil memukul tumpukan koran keras-keras. Hampir semua media hari-hari ini memang memuat besar-besar tuduhan Susno soal peran Sjahril Djohan sebagai makelar kasus. Ia melanjutkan, ”Tunggu saja penjelasan dari pengacara Pak Sjahril.”


Sumber : Tempo Interaktif

Dengan "Mug", Kita Berjuang!

Selasa, 02 Februari 2010
Minggu, 31 Januari 2010 | 03:48 WIB

Mug bukan cuma tempat air minum. Bukan sekadar pajangan. Bukan hanya koleksi. Namun, juga bisa menjadi media menuangkan dan memperjuangkan sikap.

Cara sosialisasi menggunakan mug atau cangkir beberapa waktu terakhir dilakukan Indonesia ICW. Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lain, seperti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan atau digarap sendiri, semula mug mengusung tema ”Cicak” atau Cintai Indonesia Cintai Antikorupsi. Mengambil momen kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sebagai media advokasi pemberantasan korupsi, mug warna putih bergambar Cicak diluncurkan.

Mug bertema ”Cicak” diluncurkan pertengahan 2009 dan mendapat sambutan hangat. Tak hanya dari aktivis LSM, tapi publik pun juga tertarik dan memesan mug yang penjualannya dikelola Sekretaris ICW Nurhayati. Semula penjualan hanya dari mulut ke mulut, lalu melalui Facebook. Hasilnya fantastis.

Illian Deta Arta Sari, aktivis ICW, mengungkapkan, salah satu peran ICW dalam pemberantasan korupsi adalah melalui advokasi dan sosialisasi kepada masyarakat. ”Banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya melalui barang semacam ini,” katanya.

Barang itu adalah pin, mug, dan kaus. Mug menjadi favorit karena harganya terjangkau, yakni Rp 25.000-Rp 30.000, dan desain beragam. Kaus harganya Rp 55.000-Rp 60.000, antara lain bertuliskan ”Rakyat Dibungkam Demokrasi Mati” dan ”Tidak Takut Bicara” pun laku.

Desain mug berkembang. Isu yang diusung bertambah, di antaranya penolakan tentang pembungkaman, adili koruptor, tragedi Mei 1998, dan pengungkapan pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir. Gambar dan tulisan yang dicetak di permukaan mug berasal dari beragam sumber, seperti foto, mural, dan karikatur. ”Banyak yang memberikan karyanya secara gratis. Niatnya sama, dedikasi untuk perjuangan bersama,” kata Illian.

Mereka yang sukarela memberikan desainnya, antara lain Andika Gunadarma untuk Cicak, Ismail memberikan beberapa seri komik dengan tokoh Sukribo, Arief Adityawarman untuk Tragedi Mei 1998, dan Suciwati untuk foto almarhum suaminya, Munir.

Hingga saat ini, setidaknya ada 20 desain mug dan 14 desain kaus yang digunakan untuk mengajak masyarakat menyatakan sikap. Bentuk dan koleksi mug kian beragam dan berwarna-warni, begitu juga dengan kaus. Meski demikian, Illian menampik penjualan mug dan kaus itu berorientasi bisnis.

”Cara apa pun dapat digunakan untuk menggugah kesadaran masyarakat. Ini salah satunya. Siapa pun dapat ikut serta. Bersyukur, banyak yang tertarik berperan,” ujar Illian.

Ismail, dengan tokoh karyanya bernama Sukribo dan muncul setiap hari Minggu di harian Kompas, menyebutkan, ia tidak mempermasalahkan karyanya yang dicetak di mug oleh ICW. Baginya, perannya dalam memperjuangkan Indonesia yang lebih baik dapat melalui berbagai cara, termasuk mempersilakan karyanya dicetak di mug.

”Sepanjang untuk kebaikan, tidak masalah. Saya kan tidak mungkin berjuang, misalnya dalam pemberantasan korupsi dengan cara seperti teman-teman itu. Uang juga tidak ada. Saya bisa gambar, ya itu yang saya bisa,” kata Ismail, Selasa (26/1).

Ismail sempat menjawab lupa saat ditanya, berapa banyak karyanya yang dicetak di mug dan digunakan sebagai sarana advokasi masyarakat itu. ”Berapa, ya? Mungkin tujuh,” ujarnya.

Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI, adalah salah satu pembeli mug yang dijual ICW. Ia tertarik membeli karena mug itu bukan sekadar mug seperti yang dijual di toko.

”Mug itu seperti simbol sikap, semangat, atau perjuangan kita. Misalnya, memuat hal-hal yang sedang didesakkan saat ini dan mengingatkan kita terhadap sesuatu,” kata dia.

Jaleswari yang banyak menyikapi secara kritis soal pertahanan mengaku membeli 15 mug, yang harga satuannya Rp 25.000. Sebanyak 10 mug bertema Tragedi Mei 1998 dan lima mug bertema Cicak. Selain menunjukkan sikap, membeli mug juga menjadi bentuk dukungan finansial terhadap perjuangan yang saat ini sedang dilakukan. ”Sosialisasi gagasan perlu dana,” paparnya. (dewi indriastuti)

Sumber : Kompas-cetak | Foto : TOTOK WIJAYANTO