Pameran Seni Anti Korupsi

Rabu, 16 Desember 2009

MOsi Tidak Percaya - Efek Rumah Kaca

Selasa, 08 Desember 2009

Cicak Lawan Buaya

Sabtu, 05 Desember 2009

Oleh Teten Masduki


Kau seperti bis kota atau truk gandengan
Mentang-mentang paling besar klakson sembarangan
Aku seperti bemo atau sendal jepit
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?
Kau seperti buaya atau dinosaurus
Mentang-mentang menakutkan makan sembarangan
Aku seperti cicak atau kadal buntung
Tubuhku kecil merenghil sulit dapat untung
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?
Mengapa besar selalu menang?
Bebas berbuat sewenang-wenang
Mengapa kecil s’lalu tersingkir?
Harus mengalah dan menyingkir
Apa bedanya besar dan kecil?
Semua itu hanya sebutan
Ya, walau di dalam kehidupan
Kenyataannya harus ada besar dan kecil


Lirik lagu “besar dan kecil” yang ditulis Iwan Fals dan Naniel pada tahun 1992 itu barangkali tetap relevan untuk mengekspresikan perasaaan keadilan masyarakat saat ini yang tengah terluka oleh kepongahan penguasa. Rakyat yang sedang marah karena KPK, simbol perlawan-an korupsi, tengah dianiaya.
Saya tidak tahu apakah lagu itu juga yang mengilhami Kabareskrim Polri Susno Duaji yang melontarkan istilah, “Cicak kok berani melawan buaya”, saat dirinya mengetahui tersadap oleh KPK ketika menelepon seseorang dalam upaya pencairan deposito di Bank Century setelah ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Inilah yang dicurigai publik sebagai cikal bakal rekayasa kriminalisasi terhadap terhadap Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, selain kasus dugaan suap Miranda Gultom dalam pemilihan Deputi Gubernur BI.
Kecurigaan publik dipicu oleh inkonsistensi tudingan polisi, mulai dari tuduhan menerima suap, lalu berubah dengan tuding-an pemerasan, dan lalu berubah lagi dengan tudingan penyalahgunaan wewenang karena melakukan pencekalan terhadap Anggoro dan Djoko Chandra, yang tengah diselidiki KPK. Para ahli hukum menilai pemidanaan dua pimpinan KPK itu memiliki kelemahan secara substansial dan faktual yang tidak layak diteruskan ke pengadilan. Anggoro, pemilik PT Masaro, adalah buronan KPK yang diduga melakukan korupsi dalam peng-adaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan.
Persekongkolan jahat para mafioso per-adilan itu menjadi gamblang ketika Mahkamah Konstitusi mengukir sejarah baru, dengan membuka rekaman hasil sadapan KPK terhadap Anggodo, adik Anggoro, yang transkripnya sudah beredar di masyarakat. Gelombang dukungan publik terhadap KPK tak terelakkan. Tidak perlu turun berdemo di jalanan, para Facebooker tampil menjadi “parlemen online” yang berpengaruh.
Nada dering “KPK Di Dadaku” gubahan komunitas Cicak (Cinta Indonesia, Cinta KPK) dari lagu Netral, yang dibawakan oleh Fariz RM, Once, Netral, Cholil Efek Rumah Kaca, dan Kadri dan Jimmo dari Kadri Jimmo The Prinzes of Rhythm (KJP) kemudian diluncurkan untuk meyakinkan agar pemuda Indonesia tidak menyerah dalam kubangan korupsi di rezim otoritarian plus pencitraan ini, dan “kebenaran pasti menang”.

Konser musik ”indonesia sehat Lawan Korupsi”, yang melibatkan Slank, KJP-Debby Nasution, Efek Rumah Kaca, Oppie Andaresta, Once dan Erwin Gutawa menyusul kemudian pada 8 November 2009 di Bundaran HI dan diha-diri dua ribuan masa, barangkali adalah salah satu konser musik antikorupsi termegah dan berkualitas dari segi acara, dan substansi pesan.
Kesaksian dan ekspresi perlawanan musisi dan budayawan bukan fenomena baru. WS Renda menciptakan puisi dan dibawakan oleh Kantata Takwa, mengenai mereka yang dihinakan, tanpa daya, dan orang-orang yang harus dibangunkan. Kenyataan harus dikabarkan serta bagaimana bernyanyi untuk menjadi saksi. Jangan lupa tentang kampanye budaya jijay (jijik) Slank terhadap korupsi di kalangan anak muda, selain ledekan melalui lagu “Seperti Koruptor”.
“Maling Budiman” karya Orkes Sinten Remen pimpinan Djaduk Ferianto menyindir mafia peradilan dengan sangat lucu: “Maling di negeriku, hidupnya terjamin/Inginnya ditangkap, tapi kok lucunya/Yang menangkap juga maling/Maling di negeriku, hidupnya terjamin/Maunya dihukum, tapi nggak tahunya/Yang menghukum juga maling.”
Di akhir ‘70-an, Mogi Darusman menyanyikan lagu “Rayap-Rayap” yang berbaju resmi dan merongrong tiang negara, serta babi-babi gemuk yang dengan tenang memakan kota dan desa. Bimbo dengan lagu “Tante Sun” menertawakan istri pejabat yang hedonis. Sebelumnya, di tahun 1976 Benny Soebardja bersama Giant Step bahkan telah mengangkat tema sosial, politik dan lingkungan dalam abumnya, Giant on the Move, dengan lagu seperti “Air Pollution” dan “Decision”. Sayangnya disampaikan dalam lirik berbahasa Inggris yang jangkauannya terbatas.
Di dalam karya sastra, kesaksian soal korupsi bisa kita jejaki dalam novel Max Havelar karangan Multatuli, dan “Hikayat Kadiroen ditulis Semaoen”. Di tahun 1950, Pramudya menulis sebuah novel yang berjudul “Korupsi”. Novel ini berkisah tentang pejabat negara yang masuk dalam perangkap korupsi, berlatar revolusi pada masa pemerintahan Orde Lama. Novel itu pernah menyebabkan Pramoedya memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan pemerintah-an Soekarno saat itu.
Ahmad Tohari menulis “Orang-orang Proyek” yang berlatar waktu pada masa Orde Baru, bercerita tentang “permainan” dalam proyek pembuatan jembatan lewat tokoh seorang insinyur kepala proyek yang juga mantan aktivis kampus.
Saat ini dalam kasus Cicak vs Buaya, perlawanan kian mengerucut. Rakyat bersama KPK berseberangan dengan Presiden SBY yang bersama DPR berada di belakang polisi dan jaksa. Bukan seperti Gubernur Jenderal Hongkong yang berada di belakang ICAC (Independent Commision Against Corruption) saat berseteru dengan polisi pada tahun 1970-an.
Mungkin Presiden lupa pernah berjanji saat Pemilu 2009 akan membasmi korupsi. Mungkin Pak SBY harus mendengarkan lagu “Mosi Tidak Percaya”, kesaksian politis band Efek Rumah Kaca, saat kampanye untuk tidak memilih politisi busuk: ”Kamu ciderai janji, luka belum terobati/Kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli/Janjimu pelan-pelan akan menelanmu”.
Perseteruan Polisi dan KPK memasuki ranah sosial-politik, sesuatu yang tak terhindarkan karena krisis kepercayaan masya-rakat terhadap pemerintah. Ini kemudian berbuah dengan dibentuknya Tim Delapan untuk memverifikasi adanya rekayasa kriminalisasi itu. Presiden dalam pertemuan dengan saya, Komarudin Hidayat, Anis Baswedan dan Hikmahanto Juwana di Wisma Negara, Minggu malam (1 November 2009) menyatakan, Tim 8 bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan hukum konflik Polisi dan KPK. Saya menolak masuk dalam tim itu, karena saya menyadari banyak hal dari kasus ini yang perlu didinamisasi melalui gerakan sosial. Dan seperti yang sudah diduga, Tim 8 akhirnya menyimpulkan polisi tidak cukup fakta dan alasan hukum yang cukup untuk diteruskan ke pengadilan.
Banyak yang bertanya apakah ini merupakan perlawanan balik koruptor? Meski kita belum puas, KPK yang lahir dari rahim reformasi sedikit banyak telah mengganggu rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi yang berbasis pada patroanase politik dan bisnis, meski belum berani terbuka mengusut sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu, KPK juga telah mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret koruptor ke penjara, meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat-rapat dengan alasan klasik tidak cukup bukti.

Perdagangan pengaruh politik untuk mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah menjadi kacau balau ketika para elit politik tidak bisa melindungi klien mereka. Bahkan politisi busuk di DPR mulai dikirim KPK ke bui, yang sesungguhnya kalau KPK lebih berani, dalam catatan saya, hampir separuh anggota DPR potensial dijebloskan ke penjara dari sejumlah kasus yang ditangani KPK.
Demokratisasi politik sejak 1997 harus di-akui belum berhasil mengusir rezim korupsi, yang semakin mendapat tempat belakangan ketika demokratisasi digerakkan oleh politik uang. Rakyat yang sudah tidak percaya de-ngan janji politik lebih senang dengan dengan pemberian langsung bukan kebijakan umum yang baik.
Di mata awam, korupsi memang bukan ras penjajah yang kasat mata. Bukan pula sebuah ideologi, meski korupsi akan mencari jalannya sendiri, mereproduksi sistem nilai dan membangun kleptokrasi, peme-rintahan yang dipimpin para maling. Kadang terlihat kadang tidak, seperti koloni rayap yang diam-diam mengerat struktur bangunan kayu dan tahu-tahu ambruk. Dan pengaruhnya yang luar biasa, bisa menggoda siapa saja, sesuatu yang sulit mewujud jadi musuh bersama.
Sosiolog tersohor Samuel Huntington (1987) pernah terang-terangan menuduh budaya suka memberi hadiah di masyarakat Asia menyuburkan praktek suap. Tapi pendapat ini dibantah tuntas oleh Syed Hussein Alatas (1987), sosiolog Malaysia kelahiran Indonesia yang sepanjang kariernya menekuni masalah korupsi, dalam memahami sebab-sebab korup-si di masyarakat Asia.
Alatas mencatat secara beberapa faktor penting, yaitu peranan Perang Dunia Ke-dua, pemerintahan kolonial, birokrasi patrimonial dan sistem penggajian pegawai negeri. Alatas meyakini bahwa faktor sejarah dan lingkung-an yang khusus jauh lebih bisa menjelaskan tumbuhnya korupsi dari penjelasan melalui kebudayaan. Feno-menologi kebiasaan sa-ling memberi hadiah itu sejatinya tidak berhubungan dengan pengambilan keputusan atau suap. Pemberian hadiah tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi seperti dalam transaksi yang korup, tetapi merupakan pe-ristiwa kolektif melalui upacara.
Pemberian kartu keanggotaan klub golf atau memberi mobil mewah memang tidak dikenal dalam masyarakat pra-modern. Tetapi gratifikasi, yaitu pemberian ha-diah kepada pejabat dengan nilai uang yang dapat ditolerir dan tidak mempengauhi pengambil kebijakan, justru sudah lama dilegalkan di negara-negara maju seperti Amerika Se-rikat sekalipun, yang bukan metamorfosis dari pemerintahan tradi-sional.
Korupsi belum dikenal dalam sistem ke-rajaan, karena dalam sistem kerajaan tidak ada perbedaan antara milik raja dan pu-blik. Korupsi baru dikenal dalam organisasi peme-rintahan modern. Banyak ahli seperti Clive Day (1966) yang justru menyorot pe-ran VOC dan pemerintahan kolonial yang memperkenalkan tradisi korupsi di sini, sebelum Indonesia mengenal sistem peme-rintahan modern. Dalam hal ini yang pen-ting disebut adalah penyuapan para priyayi jawa untuk mendapatkan kedudukan yang dibagi-bagikan pejabat Belanda menyusul pergantian sistem penggajian tradisional dan perluasan pungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan hasilnya. VOC sendiri bangkrut karena praktek korup-si yang meluas di perusahaan perdagangan itu (Boxer, 1983).
Sejarawan Sartono Kartodirdjo (2005) menyorot pada akar birokrasi semi feodal dan legal rasional pada zaman kolonial. Saat itu korupsi yang lebih dikenal sebagai malversasi di kalangan bupati (aristokrasi) berhubung-an dengan kebudayaan politik otoritariter dan feodalisasi yang diperta-hankan hingga akhir abad ke-19, bahkan sampai akhir masa Belanda untuk melestarikan kepenting-an kapitalis kolonial.
Namun Soemarsaid Moertono (1963) mencatat sistem salary- financing era Mata-ram dalam bentuk hak milik berupa tanah garapan yang diberikan kepada pejabat sesuai dengan kedudukannya. Dari tanah garapan itu diharapkan ia bisa mengongkosi semua pengeluaran yang bertalian de-ngan pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Sistem ini secara tradisi melahirkan pe-nyimpangan pengelolaan negara karena tidak ada pemisahan antara uang pemerintah dan milik pribadi.
Sistem penggajian pegawai negeri saat ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan penggajian zaman Mataram itu. Birokrat tidak digaji dengan cukup, tetapi diberi kekuasaan yang sangat besar, dan dari kekuasaannya itulah mereka dapat menutup gajinya yang kecil. Jadi tidak aneh memang sektor publik sangat favorit di kalangan pencari kerja, meski gaji pegawai negeri itu pas-pasan.
Tidak heran pula, kalau jabatan publik itu acap dikendurikan sebagai anugerah dari atas, bukan mandat publik yang harus dipertanggungjawabkan. Menarik sumbang-an dan pungutan dari masyarakat dianggap sah karena pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai milik pribadi. Diskresi seorang pejabat lebih fungsional daripada aturan atau undang-undang. Pendek kata, menggunakan sarana publik untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kampanye partai yang didukungnya dianggap sesuatu yang lumrah, bukan penyimpangan. Pelembagaan istri-istri pejabat yang dimulai era Orde Baru dan terus dilestarikan sampai sekarang, dalam tingkat tertentu perilaku istri pejabat itu memiliki kekuasaan yang melekat pada jabatan suaminya
Clifford Geerzt (1960) juga pernah menyorot masalah terus berlanjutnya nilai-nilai patrimonial dikaitkan dengan latar belakang pejabat pada awal-awal kemerdekaan yang sebagian besar dididik dalam nilai-nilai desa secara tradisional.
Watak mayoritas pejabat dan petinggi negara kita sekarang memang tidak jauh berbeda dengan kaum ningrat di masa lalu. Pengayoman politik terhadap bisnis yang melahirkan konglomerasi dan korupsi politik di puncak-puncak kekuasaan politik, birokrasi dan ekonomi yang masif pada Orde Baru, dan berusaha menyesuaikan diri dalam situasi fragmentasi politik saat ini barangkali tidak jauh berbeda dengan kerjasama kaum ningrat tradisonal de-ngan VOC atau penguasa kolonial saat itu. Eksploitasi atas sumber-sumber daya alam dan ekonomi yang melimpah, tidak serta melahirkan kemajuan dan kemakmuran rakyat.
Mengusir korupsi barangkali bisa disederhanakan sebagai perjuangan untuk keluar dari pengaruh oligarki elit untuk melapangkan jalan bagi pemerintahan yang modern. Dan dalam sistem rekruitmen politik yang sangat ditentukan oleh kekuatan uang seperti saat ini, rasanya perjuangan ke arah itu masih merupakan jalan yang cukup panjang. Tapi selalu ada jalan pintas, jika mau.
Melawan korupsi memang merupakan peperangan panjang. Lagu “Negeriku Cintaku” dari Debby Nasution-Erros Djarot yang dibawakan KJP-Debby Nasution dalam konser “Indonesia Sehat Lawan Korupsi”, menyerukan kepada kita:
“Bersatulah resahku resahmu dalam simfoni/terdengar bunyi bunyi sumbang tak menentu mengusik kalbu/geram kulihat betapa nikmatnya seorang yang duduk di sana/menghisap cerutu tak mau tahu akan derita/Oh, betapa kasihan melihat si miskin kelaparan/tak seorangpun yang mau tahu akan umat kita yang melarat/tidakkah kau tega melihatnya merangkak/Hei kaum muda masa kini/Kita berantaslah korupsi/jangan membiarkan mereka/menganiayai hati kita/akan kucari jalan kembali/menuju negeri damai sentausa/Oh negeriku negeri cintaku/kembalilah wajah ayumu/kan kuciptakan damai di bumi/Seperti yang dirintis dahulu/Semoga Tuhan memberkahi kita semua/dalam kedamaian/suci insan Indonesia dalam kedamaian/Hidup rukun dan sejahtera dalam kedamaian.”

Sumber : Majalah Rolling Stone Indonesia

Pidato Lengkap Presiden SBY 23/11/2009

Senin, 23 November 2009
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera bagi kita semua


Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air yang saya cintai dan saya banggakan


Dengan terlebih dahulu memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa serta dengan memohon ridho-Nya pada malam hari ini saya ingin menyampaikan penjelasan kepada seluruh rakyat Indonesia menyangkut dua isu penting yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan di negeri kita. Isu penting yang saya maksud adalah pertama, kasus Bank Century dan kedua kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto yang keduanya telah menjadi perhatian masyarakat yang amat mengemuka. Kedua isu ini juga telah mendominasi pemberitaan di hampir semua media massa disertai dengan percakapan publik yang menyertainya, bahkan disertai pula dengan berbagai desas-desus atau rumor yang tidak mengandungi kebenaran. Oleh karena itu, selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, malam ini saya pandang perlu untuk menjelaskan duduk persoalan serta sikap pandangan dan solusi yang perlu ditempuh terhadap kedua permasalahan tersebut.

Dalam waktu 2 minggu terakhir ini, saya sengaja menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan menyangkut Bank Century dan kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto, dengan alasan:

Kesatu, menyangkut kasus Bank Century selama ini saya masih menunggu hasil Pemeriksaan Investigasi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan atas permintaan DPR RI. Saya sungguh menghormati proses itu dan saya tidak ingin mengeluarkan pernyataan yang mendahului, apalagi ditafsirkan sebagai upaya mempengaruhi proses audit investigatif yang dilakukan BPK. Tadi sore saya telah bertemu dengan Ketua dan anggota BPK yang menyampaikan laporan hasil pemeriksaan investigasi atas Bank Century. Dengan demikian, malam ini tepat bagi saya untuk menyampaikan sikap dan pandangan saya berkaitan dengan kasus Bank Century tersebut.

Kedua, menyangkut kasus hukum Sdr Chandra M Hamzah dan Sdr Bibit Samad Riyanto malam ini saya pandang tepat pula untuk menyampaikan sikap pandangan dan solusi paling tepat terhadap permasalahan itu. Mengapa? Saudara-saudara masih ingat pada tanggal 2 November 2009 yang lalu dengan mencermati dinamika di lingkungan masyarakat luas yang antara lain berupa silang pendapat kecurigaan dan ketidak-percayaan atas proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan Agung, saya telah membentuk sebuah Tim Independen, yaitu Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Sdr. Chandra M.Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto. Tim Independen ini yang sering disebut Tim-8 bekerja selama 2 minggu, siang dan malam, dan akhirnya pada tanggal 17 November 2009 yang lalu secara resmi telah menyerahkan hasil kerja dan rekomendasinya kepada saya. Setelah selama 5 hari ini jajaran pemerintah, termasuk pihak Polri dan Kejaksaan Agung saya instruksikan untuk merespons hasil kerja dan rekomendasi Tim-8, maka malam hari ini secara resmi saya akan menyampaikan kepada rakyat Indonesia, apa yang sepatutnya kita laksanakan ke depan.

Saudara-saudara,

Sebelum saya masuk ke dalam inti permasalahan tentang bagaimana sebaiknya kasus Bank Century dan kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto ini kita selesaikan dengan baik, saya ingin menyampaikan kepada segenap masyarakat luas bahwa cara-cara penyelesaian terhadap kasus hukum yang memiliki perhatian publik luas seperti ini mestilah tetap berada dalam koridor konstitusi hukum dan perundang-undangan yang berlaku seraya dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mendengarkan aspirasi dan pendapat umum. Solusi dan opsi yang kita tempuh juga harus bebas dari kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan, tetap jernih dan rasional, serta bebas dari tekanan pihak manapun yang tidak semestinya. Dan di atas segalanya kita harus tetap bertumpu kepada dan menegakkan kebenaran dan keadilan.


Rakyat Indonesia yang saya cintai,


Sekarang saya akan menjelaskan yang pertama dulu, yaitu sikap dan pandangan saya tentang kasus Bank Century.

Yang pertama-tama harus kita pahami adalah pada saat dilakukan tindakan terhadap Bank Century tersebut, situasi perekonomian global dan nasional berada dalam keadaan krisis. Hampir di seluruh dunia terjadi goncangan keuangan dan tidak sedikit pula krisis di dunia perbankan. Banyak negara melakukan tindakan untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian mereka.

Pada bulan November 2008 yang lalu, apa yang dilakukan oleh pemerintah dan BI, mestilah dikaitkan dengan situasi dan konteks demikian, sehingga tidak dianggap keadaannya normal-normal saja. Kita punya pengalaman sangat pahit dan buruk 10-11 tahun lalu, ketika Indonesia mengalami rangkaian krisis yang menghancurkan perekonomian kita. Dengan demikian kebijakan yang ditempuh untuk melakukan tindakan terhadap Bank Century yang di antaranya adalah tindakan hukum terhadap para pengelola Bank Century serta penyaluran dana penyertaan modal sementara, sesungguhnya bertujuan untuk mencegah terjadinya krisis perbankan bahkan perekonomian. Meskipun ketika berlangsungnya proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan tugas untuk itu, saya sedang mengemban tugas di luar negeri, tetapi saya memahami situasi yang ada di tanah air beserta rangkaian upaya untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian kita.

Tetapi kini yang menjadi perhatian DPR RI dan berbagai kalangan masyarakat adalah :

Pertama, sejauh mana proses pengambilan keputusan dan tindakan penyaluran dana penyertaan modal sementara kepada Bank Century yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu dinilai tepat atau 'proper'?

Kedua, apakah ada pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan negara meminta atau mengarahkan pihak pengambil keputusan dalam hal ini, Menkeu dengan jajarannya dan BI, yang memang keduanya memiliki kewenangan untuk itu?

Ketiga, apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang 'bocor' atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY, fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan.

Keempat, sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?

Saudara-saudara

Saya sungguh memahami munculnya sejumlah pertanyaan kritis itu yang tentunya memerlukan penjelasan dan klarifikasi dari pihak-pihak terkait. Saya pun memiliki kepedulian dan rasa ingin tahu sebagaimana yang dialami oleh masyarakat kita. Saya juga ingin keempat pertanyaan kritis menyangkut kasus Bank Century yang saya sebutkan tadi juga mendapatkan jawaban yang tegas dan benar.

Dengan telah saya terimanya hasil pemeriksaan investigasi BPK atas kasus Bank Century sore tadi, pemerintah akan segera mempelajari dan pada saatnya nanti saya akan meminta Sdri. Menteri Keuangan dengan jajarannya bersama-sama dengan pihak BI untuk memberikan penjelasan dan klarifikasinya. Saya sungguh ingin keterbukaan dan akuntabilitas dapat kita tegakkan bersama. Saya juga ingin semua desas-desus, kebohongan dan fitnah dapat disingkirkan dengan cara menghadirkan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya.

Terhadap pemikiran dan usulan sejumlah anggota DPR RI untuk menggunakan Hak Angket terhadap Bank Century, saya menyambut dengan baik agar perkara ini mendapatkan kejelasan serta sekaligus untuk mengetahui apakah ada tindakan-tindakan yang keliru dan tidak tepat. Bersamaan dengan penggunaan Hak Angket oleh DPR RI tersebut, saya juga akan melakukan sejumlah langkah tindakan internal pemerintah, berangkat dari hasil dan temuan Pemeriksaan Investigasi BPK tersebut.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan segera dapat dikembalikannya dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu kepada negara. Saya telah menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk melaksanakan tugas penting ini.

Saudara-saudara,

Pada bagian kedua ini saya akan menyampaikan sikap, pendapat dan langkah tindakan apa yang perlu dilakukan menyangkut kasus hukum Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto.

Sejak awal, proses hukum terhadap 2 pimpinan KPK non-aktif ini telah menimbulkan kontroversi, pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kecurigaan terhadap kemungkinan direkayasanya kasus ini oleh para penegak hukum juga tinggi. Dua hari yang lalu saya juga mempelajari hasil survey oleh Lembaga Survey yang kredibel yang baru saja dilakukan, yang menunjukkan bahwa masyarakat kita memang benar-benar terbelah.

Di samping saya telah mengkaji laporan dan rekomendasi Tim-8, saya juga melakukan komunikasi dengan 2 pimpinan Lembaga Tinggi Negara di wilayah 'justice system, yaitu Sdr. Ketua Mahkamah Agung dan Sdr. Ketua Mahkamah Konstitusi. Saya juga melakukan komunikasi dengan segenap pimpinan KPK dan tentu saja saya pun telah mengundang Kapolri dan Jaksa Agung untuk mencari solusi terbaik atas kasus ini. Di luar itu, saya juga patut berterima kasih kepada para pakar hukum yang 5 hari terakhir ini, sejak Tim-8 menyampaikan rekomendasinya, juga memberikan sumbangan pemikiran kepada saya.

Dalam kaitan ini, sesungguhnya jika kita ingin mengakhiri silang pendapat mengenai apakah Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto salah atau tidak salah, maka forum atau majelis yang tepat adalah pengadilan. Semula saya memiliki pendirian seperti ini. Dengan catatan, proses penyidikan dan penuntutan mendapatkan kepercayaan publik yang kuat. Dan tentu saja proses penyidikan dan penuntutan itu 'fair, objektif dan disertai bukti-bukti yang kuat.

Dalam perkembangannya, justru yang muncul adalah ketidakpercayaan yang besar kepada pihak Polri dan Kejaksaan Agung, sehingga telah masuk ke ranah sosial dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu, faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, azas manfaat, serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan.

Sebelum memilih opsi atau konstruksi penyelesaian kasus ini di luar pertimbangan faktor-faktor non-hukum tadi, saya juga menilai ada sejumlah permasalahan di ketiga Lembaga Penegak Hukum itu, yaitu di Polri, Kejaksaan Agung dan KPK. Permasalahan seperti ini tentu tidak boleh kita biarkan dan harus kita koreksi, kita tertibkan dan kita perbaiki.

Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan KPK.


Solusi seperti ini saya nilai lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya. Tentu saja cara yang ditempuh tetaplah mengacu kepada ketentuan perundang-undangan dan tatanan hukum yang berlaku. Saya tidak boleh dan tidak akan memasuki wilayah ini, karena penghentian penyidikan berada di wilayah Lembaga Penyidik (Polri), penghentian tuntutan merupakan kewenangan Lembaga Penuntut (Kejaksaan), serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung. Tetapi sesuai dengan kewenangan saya, saya menginstruksikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penertiban, pembenahan dan perbaikan di institusinya masing-masing berkaitan dengan kasus ini. Demikian pula saya sungguh berharap KPK juga melakukan hal yang sama di institusinya.

Rakyat Indonesia yang saya cintai dan saya banggakan.


Jika pada akhirnya, insya Allah, kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto ini dapat kita selesaikan, tugas kita masih belum rampung. Justru kejadian ini membawa hikmah dan juga pelajaran sejarah bahwa reformasi nasional kita memang belum selesai, utamanya reformasi di bidang hukum. Kita semua para pencari keadilan juga merasakannya. Bahkan kalangan internasional yang sering 'fair' dan objektif dalam memberikan penilaian terhadap negeri kita juga menilai bahwa sektor-sektor hukum kita masih memiliki banyak kekurangan dan permasalahan. Sementara itu prestasi Indonesia di bidang demokrasi, peng-hormatan kepada HAM dan kebebasan pers mulai diakui oleh dunia. Demikian juga pembangunan kembali perekonomian pasca krisis 1998 juga dinilai cukup berhasil. Sementara itu, dunia juga menyambut baik peran internasional Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini yang dinilai positif dan konstruktif.

Oleh karena itu, sebagaimana yang telah saya sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa 5 tahun mendatang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas pemerintah. Bahkan dalam program 100 hari, saya telah menetapkan gerakan Pemberantasan Mafia Hukum sebagai prioritas utama. Kita sungguh serius. Agar masyarakat bisa hidup lebih tentram, agar keadaan menjadi lebih aman dan tertib, agar perekonomian kita terus berkembang, dan agar citra Indonesia di mata dunia bertambah baik, maka reformasi di bidang hukum harus benar-benar sukses dan korupsi harus berhasil kita berantas.

Khusus untuk menyukseskan gerakan Pemberantasan Mafia Hukum, saya sedang mempersiapkan untuk membentuk Satuan Tugas di bawah Unit Kerja Presiden yang selama 2 tahun kedepan akan saya tugasi untuk melakukan upaya Pemberantasan Mafia Hukum. Saya sungguh mengharapkan dukungan dan kerja sama dari semua Lembaga Penegak Hukum, dari LSM dan Media Massa, serta dari masyarakat luas. Laporkan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum jika ada yang menjadi korban dari praktik-praktik Mafia Hukum itu, seperti pemerasan, jual-beli kasus, intimidasi dan sejenisnya.

Dalam kaitan ini, saya menyambut baik rekomendasi Tim-8 dan juga suara-suara dari masyarakat luas agar tidak ada kasus-kasus hukum, utamanya pemberantasan korupsi yang dipetieskan di KPK atau juga di Polri dan Kejaksaan Agung. Kalau tidak cukup bukti hentikan, tetapi kalau cukup bukti mesti dilanjutkan. Hal ini untuk menghindari kesan adanya diskriminasi dan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Apalagi kalau pemeti-esan ini berkaitan dengan praktik-praktik Mafia Hukum tadi.

Akhirnya saudara-saudara, marilah kita terus melangkah ke depan dan bekerja lebih gigih lagi untuk menyukseskan pembangunan bangsa.

Kepada jajaran Polri, Kejaksaan Agung, KPK dan Lembaga-Lembaga penegak hukum dan pemberantas korupsi lainnya, teruslah berbenah diri untuk meningkatkan integritas dan kinerjanya. Bangun kerja sama dan sinergi yang lebih baik dan hentikan disharmoni yang tidak semestinya terjadi.

Kepada masyarakat luas di seluruh tanah air marilah kita lebih bersatu lagi dan cegah perpecahan di antara kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing perjalanan bangsa kita ke arah yang benar.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
(asy/nrl)

sumber : detik.com

AL Jazeera - Corruption Fighters

Sabtu, 14 November 2009

The gecko bites back

Rabu, 11 November 2009

Yudhoyono: second term, first crisis

Nov 5th 2009 | Jakarta

THIS was to have been Susilo Bambang Yudhoyono’s second honeymoon. Inaugurated for a second presidential term last month after a landslide election victory in July, he should have been basking in his recent international popularity and preparing for a regional summit in Singapore. Instead, he has been consumed by the fallout from a political scandal. On November 2nd he set up a team to look into an investigation by the police of members of the Corruption Eradication Commission, known as the KPK. The commission’s high-profile prosecutions had helped improve the country’s corrupt image and boosted the president’s standing.

Mr Yudhoyono was responding to mounting public pressure and street protests that followed the arrest of two KPK deputy chairmen on dubious charges of abuse of power and extortion. This was the culmination of a months-long feud pitting the KPK against the national police and the attorney-general’s office. The two KPK officials, Chandra Hamzah and Bibit Samad Rianto, were accused of taking bribes from Anggoro Widjojo, a corruption suspect, so that he could flee abroad. They say their arrests were part of a plot to frame them and weaken the KPK.

A day after Mr Yudhoyono announced the investigation, a nationally televised court hearing broadcast more than four hours of tapped telephone conversations compiled by the KPK. They featured a man believed to be a state prosecutor, Mr Anggoro’s brother, who is an important police witness, and other unnamed figures. They suggested a plot to frame the KPK officials. Speakers also cited the president as backing the moves against the KPK. Within hours of the broadcast, the two KPK men were freed from jail (but remain under investigation). Mr Anggoro’s brother was detained for questioning.

The scandal is overshadowing all Mr Yudhoyono’s plans for economic reform, and denting the mood of optimism that followed his re-election. His government has run an international television campaign touting Indonesia’s transformation from South-East Asia’s basket-case ten years ago into its leading democracy. The president’s election platform focused on the rule of law, fighting corruption and wooing foreign investment.

Critics say the KPK was seen as going too far, gunning for Mr Yudhoyono’s political enemies and settling old scores with rivals in the police and attorney-general’s office. The fight has been extremely personal: the chief police detective, Susno Duadji, whose phone was tapped by the KPK in another corruption probe, famously compared KPK attempts to take on the police to “a gecko versus a crocodile”. Now Mr Susno himself has resigned under a cloud, as has the deputy attorney-general.

The worry is that the scandal could cripple Mr Yudhoyono’s second-term agenda. Few doubt that it shows how the police and attorney-general’s office, widely regarded as among Indonesia’s most corrupt institutions, need serious reform. Worse, the revelations—including the suggestion that one of the KPK officials might be killed in jail—show that the bad habits of the authoritarian Suharto regime still haunt Indonesia a decade after its fall.

After setting up his investigative team, Mr Yudhoyono promised to “uphold legal supremacy”. But it is still not clear that he grasps the severity of the crisis. He is known for his willingness to share political spoils and his preference for consensus. In this case, however, the public seems to yearn for confrontation: to see him take on the rot in Indonesia’s legal framework, and get rid of it.


GUERILLA MURAL CICAK

Selasa, 10 November 2009

Ini adalah template untuk rekan-rekan sekalian yang ingin membuat mural cicak, tapi males menggambar.

7 Langkah membuat mural cicak

  1. Klik dan kemudian Save (simpan) gambar logo diatas ini;
  2. Print dengan ukuran apa saja (lebih baik minimal ukuran A3 - 30 x 30 cm);
  3. Potong bagian yang berwarna abu-abu;
  4. Beli cat semprot atau cat tembok biasa (sayangnya kita tidak menyediakan) warna Merah, Hitam, Biru, atau Putih;
  5. Pilih tembok atau medium lain yang menarik perhatian;
  6. Letakkan kertas yang bergambar logo tadi diatas medium tersebut;
  7. Semprotkan cat keatas kertas bergambar logo tersebut.

Rekan-rekan bisa foto hasil mural tersebut, dan kirimkan ke kami di www.cicak.or.id, atau posting sendiri di FB Kami Cicak!


Selamat mencoba.

Salam,

Cicak

Cicak vs Buaya

Minggu, 08 November 2009

Kartunis : Donny Satryadharma, (copyright 2009)

Drama Kepolisian di Ruang Dewan

Dimuat di Koran Tempo, Senin, 9 November 2009

Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Kepolisian Kamis (5/11) tampak seperti sebuah drama yang ditayangkan di televisi. Beberapa informasi yang disampaikan membuat bingung masyarakat yang sebelumnya menonton sidang Mahkamah Konstitusi terkait kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Yang mengemuka dari rapat dengar pendapat tersebut adalah terbukanya rapat itu. Tentu saja kita harus menghargai dan bahkan mendorong keterbukaan di DPR. Tapi perhatikan bahwa rapat dengar pendapat dengan KPK, yang berada dalam satu rangkaian dengan rapat dengar pendapat dengan Kapolri dan dilaksanakan sehari sebelumnya, justru dilaksanakan secara tertutup. Akibatnya, yang terjadi adalah penciptaan forum publik untuk Kepolisian. Dan karena forum ini memang berupa rapat dengar pendapat dengan hanya satu institusi, tidak bisa ada perimbangan informasi. Kalau DPR mau konsisten dengan keterbukaannya, mestinya semua rapat terbuka untuk umum, tidak ada yang ditutup.

Forum Politik

Penting untuk dijernihkan, rapat dengar pendapat Komisi III dengan Kapolri adalah sebuah forum politik. Bukan forum hukum (pro justitia), seperti halnya di pengadilan; baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi. Posisi rapat dengar pendapat sebagai forum politik mempunyai dua konsekuensi.

Pertama, standar validitas data dan klarifikasinya sangat berbeda. Proses pengadilan itu rumit dan prosedurnya diatur dalam hukum acara dalam sebuah undang-undang karena standar validitas data yang diajukan amat tinggi mengingat seseorang akan dihukum sebagai keluaran dari prosedur itu. Setiap keterangan yang diberikan harus diperiksa-silang dan diberikan alat bukti yang cukup. Tidak bisa hanya berupa rangkaian pernyataan seperti yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat tersebut. Apalagi pernyataan ini hanya dari satu pihak.

Kedua, terkait dengan yang pertama, yang keluar dari forum itu bukan sebuah "putusan hukum". Ini penting untuk digarisbawahi karena ada beberapa anggota yang sempat mengusulkan penyimpulan yang mengesankan adanya “kebenaran mutlak” dalam forum itu. Bahkan sempat ada kata-kata yang menyatakan adanya “opini illegal” yang mengesankan bahwa kesimpulan RDP Komisi III DPR adalah “opini legal.” Ini pernyataan yang salah dan menyesatkan bagi publik.

Dukungan Berlebihan

Yang juga tak lazim dalam dinamika sebuah parlemen adalah dukungan yang berlebihan dari anggota DPR. Tidak hanya puja-puji yang diberikan kepada Kepolisian, bahkan juga tepukan tangan setelah pernyataan Kabareskrim Susno Duadji bahwa dirinya tidak menerima suap. Ini sungguh suatu praktek yang tidak jamak dilakukan. Mungkin saja karena sebagian besar anggota DPR yang sekarang baru, atau memang karena ada dukungan yang ingin diperlihatkan secara telanjang pasca-diperdengarkannya rekaman penyadapan di MK.

Dengar pendapat atau hearing dalam sebuah parlemen merupakan urusan yang serius dan digunakan oleh anggota parlemen untuk mendalami suatu kasus. Tujuannya bisa untuk mengawasi jalannya pemerintahan atau membuat suatu kebijakan. Di Amerika Serikat, Belanda, dan Jepang -sekadar untuk menyebut tiga contoh dari banyak negara- dalam beberapa dengar pendapat ada testimoni yang diberikan di bawah sumpah. Dan semua dengar pendapat juga biasanya dilakukan dalam sidang yang memang terbuka. Di situlah biasanya anggota parlemen menunjukkan “taringnya” kepada konstituennya dengan memberikan pertanyaan yang bermutu.

Anggota parlemen biasanya menggunakan kesempatan dengar pendapat untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan berkualitas. Sebab ini akan berguna baginya untuk bisa mendalami kasus dan memberikan kesimpulan yang terbaik. Bukan pernyataan-pernyataan yang tidak relevan. Apalagi tepukan tangan, yang sifatnya hanya menunjukkan dukungan politik.

Meski ini tidak melanggar kode etik DPR, sesungguhnya tidak pada tempatnya anggota DPR berperilaku seperti ini. Sudah lama kita berbicara soal rapat-rapat di DPR yang dipandang tidak efisien dan efektif. Sebagian anggota DPR sendiri pernah mengeluh tentang betapa kerasnya mereka bekerja sementara sebagian organisasi menilai buruknya kinerja DPR. Barangkali rapat hingga jam tiga pagi kemarin adalah salah satu contoh kerja keras mereka. Namun di sini kita melihat sendiri bahwa tidak efektifnya rapat ternyata sebagian disebabkan oleh perilaku anggota sendiri yang membuat rapat berlarut-larut dengan memberikan pernyataan-pernyataan yang tak perlu dalam sebuah dengar pendapat.

Pembaruan Institusi

Kita setuju bahwa semua institusi penegak hukum harus didukung dalam melakukan kerjanya secara sinergis. Bila DPR memang ingin berkontribusi menyelesaikan masalah ini, DPR mestinya berpikir dalam kerangka pembaruan jangka panjang. Ini bukan soal mendukung satu institusi dan menghujat yang lainnya. Ini adalah persoalan institusi-institusi penegakan hukum yang harus dirombak total. Pihak yang membuka kasus-kasus korupsi di tubuh Kepolisian pasti tidak ingin membubarkan Kepolisian. Di manapun di dunia ini Kepolisian diperlukan penegakan hukum. Masalahnya adalah kepolisian yang seperti apa? Yang tidak korup dan profesional.

Bila DPR memang benar-benar ingin menjadi wakil rakyat, poin inilah yang mestinya dicermati dan digali. Bukan mendalami suatu kasus dan bertanding dengan lembaga peradilan untuk membongkar kasus tertentu.

Aksi Indonesia Sehat Lawan Korupsi!

Jumat, 06 November 2009


Ayo gabung sama ratusan orang lainnya dalam Aksi Indonesia Sehat Lawan Korupsi!
Bersama SLANK, Fariz RM, Netral, Efek Rumah Kaca, Gita Gutawa, Kadri Jimo and the Prinzes of Rhythm, Gank Pegangsaan, Ahmad Albar, Once Dewa dkk.

Minggu 8 November jam 07.00-11.00 WIB di Bundaran HI Jakarta.
Kenakan baju putihmu, tunjukkan kebersihanmu!
Lawan Korupsi!

Didukung berbagai komunitas antara lain Bike To Work, Komunitas Sepeda Onthel, Komunitas

The Truth Shall Set Them Free

Selasa, 03 November 2009

Selamat Tinggal (Pemberantasan) Korupsi

Sabtu, 31 Oktober 2009
30/10/2009 19:09
Bivitri Susanti

Perkembangan aksi pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini semakin memprihatinkan. Rentetan peristiwanya bergulir seperti bola salju. Awalnya dengan menyatakan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, sebagai tersangka. Kemudian bagian dari orang-orang yang protes juga dijadikan tersangka pencemaran nama baik: Illian Deta Arta Sari dan Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW ). Meski bukan terkait soal KPK, waktu penetapan dan prosedur yang tidak jelas sebelumnya dapat dengan mudah diasosiasikan dengan aktivitas yang mereka lakukan dalam pemberantasan korupsi. Dan, Kamis (29/10), akhirnya Chandra dan Bibit ditahan. Ini sekadar menyebut beberapa peristiwa besar yang bisa jadi batu penanda.

Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: ada apa dengan SBY? Bukan, persoalannya bukan pada Polri, pada Kejaksaan Agung atau pada KPK. Masalah terletak pada SBY. Jalannya pemerintahan itu seperti konser musik. Ada para pemain musik sesuai instrumen masing-masing dan ada konduktornya. Pemimpin yang memberi aba-aba dan membuat permainan musik menjadi harmoni yang indah. Segala rupa kekacauan di jajaran pemerintahan ini, mestinya diberesi oleh presidennya.

Betul, presiden tidak boleh campur-tangan dalam proses hukum. Dalam penjelasan resminya, Jumat (30/10) sore, SBY menyatakan perlunya "supremasi hukum" yang membuatnya tidak bisa mencampuri urusan penegakan hukum. Tapi supremasi hukum selalu bisa dibenturkan dengan keadilan: supremasi hukum yang adil. Dan, salah satu hal penting dalam menegakkan supremasi hukum yang adil adalah kejelasan dalam setiap tindakan yang dilakukan penegakan hukum. Ini yang luput dijelaskan oleh SBY.

Cukup terang-benderang bahwa penahanan terhadap Chandra dan Bibit tidak didasarkan pada alasan yang valid. Bagaimana mungkin membentuk opini publik menjadi alasan penahanan dalam sebuah negara yang mengaku menghormati kebebasan berbicara?! Bila soalnya adalah kemungkinan melarikan diri, kepatuhan melapor yang selama ini dilakukan Chandra dan Bibit seharusnya memperlihatkan mustahilnya mereka melarikan diri. Apalagi, dimensi politik kasus ini demikian besar dan mereka cukup rasional untuk tidak membuatnya bertambah keruh.

Tapi, ini juga bukan soal Chandra dan Bibit. Ini soal SBY. Ia dipilih untuk kedua kalinya karena dianggap mampu melakukan pemberantasan korupsi. Namun, benarkah ia masih mau berkomitmen memberantas korupsi? Presiden bisa dan berwenang untuk memperjelas kekisruhan langkah-langkah KPK ini. Bila demikian besar gelombang yang mengarah pada tidak profesionalnya Kepolisian dan Kejaksaan, bukankah seorang presiden yang bijak semestinya mulai menggali opini alternatif (second opinion) dan mulai mencari solusi masalah?! Jangan hanya menutupi dan mencuci tangan atas nama supremasi hukum.

Sudut lain yang bisa dilihat untuk mengukur komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi adalah orang-orang yang dipilihnya dalam kabinet maupun lembaga lain yang masih berada di dalam lingkar kekuasaannya. Polemik Buaya dan Cicak, yang belakangan ditambah dengan Godzila oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, seharusnya membuat SBY mengevaluasi para pembantu di dalam kabinetnya untuk masa jabatannya yang kedua ini. Reformasi penegakan hukum di tubuh Kejaksaan yang berjalan tersendat, ditambah huru-hara Buaya-Cicak-Godzila, membuat kita bertanya-tanya, mengapa Jaksa Agung justru dipertahankan dalam susunan kabinet ini?

Yang tak kalah menarik. Posisi SBY sekarang sebenarnya mirip dengan posisi Suharto dulu. Jabatan strukturalnya di dalam partai bisa saja dibuat tidak menonjol. Tapi tidak ada yang bisa memungkiri bahwa Partai Demokrat adalah SBY dan SBY adalah Partai Demokrat.

Dengan peraihan kursi mayoritas di DPR ditambah dengan koalisinya dalam pemilihan presiden, SBY memegang kekuasaan amat besar. Ketua DPR menurut undang-undang memang harus berasal dari partai mayoritas. Perlu dicatat, Ketua DPR Marzuki Alie adalah "mantan tersangka" dalam kasus korupsi PT Semen Baturaja. Ia memang tidak pernah dijerat hukum. Sebab penyelidikan terhadapnya dihentikan tak lama setelah ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Maka, sebagai pemercaya negara hukum, kita harus bilang bahwa ia memang bukan koruptor. Ia hanya mantan tersangka yang kasusnya tak pernah tuntas diselidiki untuk alasan politis. Dan, sebagai Ketua DPR, ia mulai memainkan peran untuk "mengharmoniskan hubungan" antara pemerintah dan presiden dengan membatalkan beberapa rapat pengawasan yang dijadwalkan komisi-komisi.

Mengapa saya menyinggung soal DPR ketika berbicara soal pemberantasan korupsi? Ada dua sebab. Pertama, saya ingin menunjukkan lebih jauh pilihan-pilihan yang "tidak anti-korupsi" yang bisa dilakukan SBY. Padahal kita tahu kondisi korupsi di DPR sendiri membutuhkan ketua yang strategis. Kedua, selain relasi antar-partai dalam kabinet yang harmonis, pemerintah SBY jilid dua ini juga rupanya didesain untuk disokong oleh parlemen yang "manis". Kebijakan pemerintah semestinya diawasi DPR. Dengan konfigurasi DPR sekarang, niscaya pengawasan ini akan sangat melemah dan kebijakan yang koruptif tidak akan mendapat perlawanan berarti.

Bagi sebuah pemerintahan yang menjual citra, pemberantasan korupsi barangkali memang hanya penting pada awal masa kekuasaan. Yang terpenting saat ini adalah pemerintahan yang stabil, dalam arti tanpa diwarnai oposisi yang berarti. Pemberantasan korupsi yang terlampau serius, tentu saja bisa menjadi batu sandungan bagi pemerintahan ini.

Tapi apa betul kita mesti bilang selamat tinggal pemberantasan korupsi? Jika masa pemerintahan kedua SBY ini diprediksi loyo dalam pemberantasan korupsi, bukankah masih ada "orang-orang biasa"? Dalam bahasa inteleknya bisa kita sebut "masyarakat sipil": mereka bergerak bersama di ranah publik berdasarkan sebuah shared value. Mungkin suaranya tak nyaring, tapi kelompok ini bisa cukup kuat, bila mau, dalam menyeimbangkan perilaku pemerintah yang mulai keluar rel. Kelompok ini adalah saya dan Anda: orang-orang yang tidak berada di ranah politik, tapi tetap punya suara dan aksi. Maka, kita harus memilih: mengucapkan selamat tinggal korupsi atau selamat tinggal pemberantasan korupsi. Saya memilih yang pertama.

Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah

Jumat, 30 Oktober 2009
Di bawah ini adalah tautan/link untuk mengunduh/download "PERNYATAAN JAMINAN PRIBADI UNTUK PEMBEBASAN PIMPINAN KPK NON AKTIF BIBIT SAMAD RIANTO DAN CHANDRA M. HAMZAH ("Pernyataan Jaminan")."

Silahkan klik di SINI untuk mengunduh/download Pernyataan Jaminan.

Petunjuk unduh/download dan pengisian:
1. Klik di SINI atau tautan yang disediakan di atas.
2. Setelah halaman fail/dokumen "Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah" terbuka, klik "Download".
3. Pilih/klik "Microsoft Word (.doc)", kemudian klik "Save" untuk menyimpan ke komputer/HP Anda.
4. Buka dokumen "Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah" di komputer/HP Anda, kemudian tulis nama/nama-nama (kalau lebih dari 1 orang) dan pekerjaan/profesi pada kolom yang kosong, kemudian simpan/save dokumen yang telah Anda isi.
5. Kirim fail/dokumen Pernyataan Jaminan yang telah Anda isi melalui e-mail ke pembelakpk@gmail.com.

Upaya pemberantasan korupsi TIDAK BOLEH DIKRIMINALISASI! Mari sampaikan dukungan kepada Bibit dan Chandra untuk Indonesia yang bersih dari korupsi!


SAJAK KAUM CICAK

Kamis, 29 Oktober 2009
Puisi bagus dari mas Tulus Wijanarko Redpel Koran Tempo

SAJAK KAUM CICAK

Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mahfum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

Cicak-cicak Bersatulah!


Jumat, 30 Oktober 2009 | 04.21 WIB

Teten Masduki Penyair

WS Rendra dalam puisinya pernah menyerukan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, yang ditulis sewaktu almarhum belajar di Amerika pertengahan tahun 1970-an. Puisi itu ditulis dalam lembaran surat balasan kepada sahabatnya di dalam negeri yang menceritakan kenestapaan pelacur-pelacur Ibu Kota yang tidak mendapat perlindungan polisi.

Seorang teman menganjurkan mencatut judul puisi itu dalam tulisan ini untuk membangunkan kesadaran ”cicak-cicak”. Bahwa niat baik, dan seberapa kuat legitimasi perlawanan korupsi, tidaklah banyak menolong berhadapan dengan kekuatan besar yang terorganisasi. Sebab, ancaman terhadap agenda pemberantasan korupsi kini bukan sekadar wacana.

Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, memperlihatkan pertarungan ”cicak” dan ”buaya” makin sengit. Sepertinya kepolisian dan Kejaksaan Agung panik melihat opini masyarakat yang mulai meragukan kredibilitas polisi dan jaksa menyusul beredarnya transkrip rekaman yang mengonfirmasi adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra.

Seolah dengan penahanan itu dua hal sekaligus bisa diperoleh, menghambat gerak perlawanan kedua tersangka dan sekaligus menunjukkan keperkasaan mereka. Atau barangkali polisi sudah menemukan bukti kuat bahwa mereka menerima suap, yang sejauh ini menjadi kelemahan sangkaan pidana terhadap mereka yang dituding cuma melakukan penyimpangan prosedur pencekalan.

Rekayasa kriminalisasi

Transkrip rekaman pembicaraan antara pejabat kejaksaan dan pihak-pihak yang terkait kasus korupsi yang sedang ditangani KPK tersebut bukan saja menyingkap adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap kedua unsur pimpinan KPK itu, tetapi jauh dari pada itu memperlihatkan bahwa unsur-unsur busuk masih menguasai kekuasaan formal kita.

Memang sangat menyakitkan. Di tengah semangat masyarakat untuk keluar dari lilitan korupsi yang telah menempatkan bangsa ini pada harkat budaya yang paling hina, masuk dalam kelompok negara terkorup di dunia, masih ada anasir- anasir lama yang berusaha merevitalisasi rezim korupsi di negeri ini.

Sedikit banyak KPK, yang lahir dari rahim reformasi, telah mengganggu rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi yang berbasis pada patronase politik dan bisnis, meski belum mengusut sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu KPK juga telah mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret koruptor ke penjara meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat- rapat dengan alasan klasik: tidak cukup bukti.

Kita sebenarnya mengharapkan ada dukungan politik tingkat tinggi terhadap KPK. Presiden yang mengklaim punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi mestinya berdiri di belakang KPK dalam melawan upaya-upaya yang mau melemahkan KPK. Menimbulkan kontroversi di masyarakat ketika semalam sebelum penetapan tersangka kedua unsur pimpinan KPK itu oleh polisi, Presiden hadir dalam acara buka puasa di Mabes Polri. Untung saja Presiden juga cepat merespons kekhawatiran masyarakat ketika akan mengangkat sendiri pejabat sementara pimpinan KPK pengganti tiga unsur pimpinan KPK yang sedang diproses di pengadilan, dengan menyerahkannya kepada tim seleksi independen dan hasilnya relatif bisa diterima masyarakat.

Sekarang Presiden pun dicatut namanya dalam transkrip rekaman rekayasa hukum itu. Tentu kita tidak mengharapkan Presiden sekadar membersihkan dirinya dari pencatutan itu, tetapi menunjukkan kualitas kepemimpinannya dalam menyelesaikan karut-marut konflik antara ”cicak dan buaya” ini. Saat ini momen yang tepat untuk menata kembali hubungan konstruktif semua kelembagaan antikorupsi itu yang sekarang saling sikut. Presiden harus memberi dukungan kepada KPK untuk mengusut pihak-pihak yang terlihat dalam rekayasa kriminalisasi ini.

Presiden biasanya enggan dipersepsikan publik bahwa ia melakukan intervensi politik terhadap kemandirian penegakan hukum, karena memang polisi dan kejaksaan yang bermasalah dengan KPK berada di bawah kekuasaan Presiden. Dan tidak mungkin membersihkan negeri ini dari korupsi tanpa KPK yang kuat, karena masih diperlukan waktu dan upaya yang panjang untuk memulihkan institusi polisi dan kejaksaan untuk bisa berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.

Serangan balik koruptor terhadap KPK barangkali tidak akan pernah reda. Serangan mematikan yang harus diwaspadai akan mengarah pada pemangkasan kewenangan formal dan infiltrasi agen-agen korupsi ke dalam tubuh KPK. Dalam skala dukungan politik yang sangat lemah, tidak ada jalan lain, KPK harus membangun sistem kekebalan internal dan mengapitalisasi dukungan masyarakat yang sangat besar sebagai kekuatan legitimasi mereka.

Tidak tuntas

Sayangnya dalam pertarungan ini KPK tampil agak ragu-ragu dan kurang percaya diri. Kalau saja mau, KPK bisa menyeret hampir separuh anggota DPR dari sejumlah kasus yang mereka tangani. Dalam banyak kasus, KPK tidak pernah menebas habis semua pelakunya. Padahal, seperti membasmi virus, mestinya KPK tidak boleh menyisakan benih-benih kotor yang akan berkembang biak atau memberikan perlawanan.

Dalam kasus dugaan pemerasan oleh pejabat kepolisian pada kasus Bank Century, KPK membiarkan isunya berkembang tanpa berani menuntaskan.

Saya yakin KPK pun bisa menggunakan rekaman itu, yang pasti informasinya jauh lebih lengkap dari secuil transkrip rekaman yang beredar saat ini, untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK terus berlanjut. Padahal, mereka bisa melakukan itu atas nama mandat supervisi yang dimiliki oleh KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan.

Atau mungkin kita tak bisa mengharapkan cicak melakukan lompatan besar karena cicak hanya bisa merayap diam-diam melahap mangsanya, seperti hampir semua anak prasekolah bisa menyanyikan lagu ”Cicak-cicak di Dinding”.

Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia

Sumber : Kompas.com - opini

Dukungan untuk Bibit & Chandra di Facebook Melonjak


Jakarta - Jumlah dukungan untuk Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah di jejaring sosial Facebook melonjak. Dalam 2 jam, jumlah anggota grup 1 Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit naik hampir 1.000 orang.

Pantauan detikcom, Jumat (30/10/2009) pukul 08.30 WIB, jumlah anggota grup itu mencapai 1.137 orang. Padahal 2 jam sebelumnya jumlahnya hanya 164 orang.

Akun grup yang dibuat oleh dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu bernama Usman Yasin ini rupanya menarik minat banyak orang. Mereka ingin bersatu padu membela Bibit dan Chandra.

"Saya cicak juga. Saya ingin bersatu dengan semua cicak melawan si boyo (buaya)," demikian tulis salah seorang anggota, Rita D Suradja, dalam wall.

sumber : detik.com

TIME TO FIGHT BACK

INNALILLAHI WA INNAILLAIHI ROJI'UN.....NEGARA KITA BENAR-BENAR SUDAH HANCUR!!...alasan penahanan Chandra dan Bibit adalah karena "MENGGALANG OPINI PUBLIK!", ARTINYA KALAU SAYA, ANDA DAN KITA SEMUA SEBAGAI RAKYAT PUNYA OPINI....MAKA MEREKA BISA MENAHAN KITA SEMUA!!

HARI INI KITA SEMUA HARUS BERDUKA KARENA SEBAGAI RAKYAT MERDEKA, HAK KITA SEMUA SUDAH DIRAMPAS! KITA SAAT INI SEDANG DI JAJAH!

YANG LEBIH MENYEDIHKAN LAGI....SAMPAI SAAT INI KORUPTOR ANGGRORO DAN ANGGODO BERSAUDARA MALAH SEDANG SANTAI DI SINGAPURA!!

REKAN-REKAN CICAK, SUDAH SAATNYA KITA BERGERAK!
DIKTATOR BARU TELAH LAHIR

JANGAN TUNGGU 32 TAHUN LAGI SEBELUM NEGARA KITA JADI SEMAKIN HANCUR.

GOD HELP US ALL

Salam,

Cicak

Transkrip Rekaman Bukti Rekayasa Kasus KPK "Kamu Ngomong ke Rit (Pimpinan Kejagung)"

Senin, 26 Oktober 2009
Karaniya Dharmasaputra, Yudho Rahardjo, Ita Lismawati F. Malau


Sejumlah nama petinggi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI bermunculan.

rekaman itu beredar di kalangan terbatas sejak hari Minggu kemarin, 25 Oktober 2009. Isinya, sebagaimana telah diberitakan VIVAnews sebelumnya, kuat mengindikasikan adanya rekayasa sistematis untuk mengkriminalisasikan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Seorang sumber tepercaya VIVAnews yang terlibat langsung dalam pusaran perkara ini mengkonfirmasikan kesahihan dari transkrip tersebut.

Transkrip itu, tak lain, adalah cuplikan percakapan yang terekam dalam penyadapan yang dilakukan KPK terhadap Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo--bos PT Masaro Radiokom yang kini menjadi buronan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

Sejumlah nama petinggi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI, termasuk jaksa dan polisi penyidik, disebut-sebut di dalamnya. Salah satunya diduga Wisnu Subroto yang ketika itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen. Kepada VIVAnews, Wisnu keras membantah.

Pejabat yang lain yang namanya disebut-sebut diduga adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ditanya wartawan Senin, 26 Oktober 2009 di Bogor, ia hanya menggumam, "... Ehmmm."

Dari Mabes Polri juga muncul nama yang diduga adalah Irjen Pol. Hadiatmoko, Wakil Kepala Bareskrim Polri yang kini menjabat sebagai perwira tinggi di Mabes Polri. Dikonfirmasi VIVAnews, Hadiatmoko hanya menjawab singkat, "No comment."

Ihwal dugaan sejumlah perwira tinggi kepolisian ini, Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri berjanji akan mempelajarinya.

Adapun Kepala Humas Kejaksaan Agung Didi Juru Bicara Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menantang balik KPK untuk membuka bukti rekaman itu. "Silakan saja kalau mau diungkap," katanya, Selasa 20 Oktober 2009.

Berikut cuplikan transkrip tersebut yang didapat wartawan VIVAnews.

Anggodo ke Wisnu Subroto (22 Juli 2009:12.03)

“… nanti malam saya rencananya ngajak si Edi (Edi Soemarsono, saksi dan teman dekat mantan Ketua KPK Antasari Azhar, red.) sama Ari (Ari Muladi, tersangka kasus pemerasan dan teman Anggodo, red.) ketemu Truno-3 (Mabes Polri kerap disebut sebagai "Trunojoyo").

Wisnu Subroto ke Anggodo (23 juli 2009:12.15)

“Bagaimana perkembangannya?”

“Ya, masih tetap nambahin BAP, ini saya masih di Mabes.”

“Pokoknya berkasnya ini kelihatannya dimasukkan ke tempatnya Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung), minggu ini, terus balik ke sini, terus action.”

“RI-1 belum.”

Udah-udah, aku masih mencocokkan tanggal.”

Anggoro ke Anggodo (24 Juli 2009:12.25)

Yo pokoke saiki Berita Acara-ne kene dikompliti (ya pokoknya sekarang Berita Acara-nya dilengkapi).”

Wes gandeng karo Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung) kok dek’e (dia sudah nyambung kok dengan R)

Janji ambek Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung), final gelar iku sama kejaksaan lagi, trakhir Senen (Janji sama Rit gelar perkara final dengan kejaksaan lagi, terakhir Senin).”

“… sambil ngenteni surate RI-1 thok nek? (... tinggal menunggu surat dari RI-1?)”

Lha, kon takok’o Truno, tho (ya kamu tanyakan ke Trunojoyo, dong).”

Yo mengko bengi, ngko bengi dek’e (ya nanti malam saya tanyakan ke dia).”

Hadiatmoko ke Anggodo (27 Juli 2009, 18.28)

“..dan ini kronologinya saya sudah di Bang Far (nama lelaki) semua,”

“Sebetulnya ada satu saksi lagi si Edi Sumarsono, Pak, yang Antasari itu, Pak. Sama pembuktian lagi waktu Ari kesana, ada pertemuan rapat dengan KPK, Pak.”

“Ada pertemuan di ruang rapat Chandra (Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah, red.)”

Anggodo ke Kos (nama laki-laki, red) (28 Juli 2009, 12.42)

“Kos, itu kronologis jangan lu kasih dia loh, Kos.”

“Jangan dikasihkan soalnya Edi sudah berseberangan.”

Cuman lu harus ngomong sama dia: ’terpaksa lu harus jadi saksi,’ karena Chandra lu yang perintah, kalao nggak, nggak bisa nggandeng.”

Anggodo ke seorang perempuan (28 Juli 2009, 21.41)

Besok kon tak ente…, ngomong ke Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung, red.) (Besok kamu saya tunggu ..., bicara ke R), Edi Sumarsono itu bajingan bener, sebenarnya dia mengingkari semua.”

“Besok penting ngomong. Edi ngingkari, Pak, padahal Antasari bawa Chandra.”

Anggodo ke Prm (penyidik) (29 Juli 2009, 13.09)

“Kelihatannya kronologis saya yang benar.”

“Iya sudah benar kok, saya lihat, di surat lalu lintas. Saya sudah ngecek ke Imigrasi, sudah benar kok.”

Anggodo ke Wisnu Subroto (29 Juli 2009, 13.58)

“Terus gimana, Pak, mengenai Edi gimana, Pak?”

“Edi udah tak omongken Ir (nama salah satu jaksa di Kejaksaan Agung) apa. Ini bukan sono yang salah, kita-kita ini yang jadi salah.”

“Iya, padahal dia saksi kunci Chandra.”

“Maksud saya Pak, dia kenalnya dari Bapak dan Pak Wisnu (nama petinggi Kejaksaan Agung), gak apa-apa kan, Pak.”

Nggak apa-apa, kalau dari Wisnu nggak apa-apa lah.”

“Kalau kita ngikutin, kan berarti saya ngaku Ir (nama jaksa di Kejaksaan Agung) kan. Cuma kalau dia nutupin dia yang perintah… perintahnya Antasari suruh ngaku ke Chandra itu gak ngaku. Terus siapa
yang ngaku?”

“Ya, you sama Ar.”

“Nggak bisa dong Pak, wong nggak ada konteksnya dengan Chandra.”

“Nggak, saya dengar dari Edi.”

“Iya dari Edi, emang perintahnya dia Pak. Lha, Edinya nggak mau ngaku, gitu Pak, dia nggak kenal Chandra, saya ndak nyuruh ngasihin duit, gimana, Bos?”

“Ya ndak apa-apa”

Anggodo ke Wisnu Subroto (30 Juli 2009, 19.13)

“Pak tadi jadi ketemu?”

Udah, akhirnya Kos (nama seseorang) yang tahu persis teknis di sana. Suruh dikompromikan di sana, Kosasih juga sudah ketemu Pak Susno, dia juga ketemu Pak Susno lagi si Edi. Yang penting kalo dia tidak mengaku susah kita.”

“Yang saya penting, dia menyatakan waktu itu supaya membayar Chandra atas perintah Antasari.”

“Nah itu.”

Wong waktu di malam si itu dipeluk anu tak nanya, kok situ bisa ngomong. Si Ari dipeluk karena teriak-teriak, dipeluk sama Chandra itu kejadian.”

“Bohong, nggak ada kejadian, kamuflase saja.”

Nggak ada memang. Jadi dia cuma dikasih tau disuruh Ari gitu. Dia curiga duite dimakan Ari.”

“Bukan sial Ari-nya Pak, dia cerita pada waktu ke KPK dia yang minta
Ari, kalau ditanya saya bilang Edi ada di situ, diwalik (dibalik) sama-sama doa, Ari yang suruh ngomong dia ngomong dia ada. Kalau itu saya gak jadi masalah pak, itu saya suruh…”

“Pokoknya yang kunci-kuncinya itu saya sudah ngomong sama Kosasih, kalo tidak ada lagi…nyampe…ya berarti ya enggak bisa kasus ini gitu.”

“Yang penting buat saya Pak si Ari ini, dia ngurusi AR (pimpinan KPK, red) segala. Ujung-ujungnya dia dapet perintah nyerahkan ke Chandra itu siapa, Pak? Kan nggak nyambung, Pak”

“Bukan Pak, dia memerintahkan nyerahken ke Chandra yang Bapak juga tahu, kan, karena kalo gak ada yang merintah Chandra, Pak, nggak nyambung uang itu, lho."

“Memang keseluruhan tetap keterangan itu, kalau Edi nggak ngaku ya
biarin yang penting Ari sama Anggodo kan cerita itu”

Kan saksinya kurang satu.”

“Saksinya akan sudah dua, Ari sama Anggodo”

“Saya bukan saksi, saya kan penyandang dana, kan.”

“Kenapa dana itu dikeluarkan, karena saya disuruh si Edi kan, sama saja kan, hahaha…”

“Suruh dia ngaku lah, Pak, kalao temenan kaya gini ya percuma, Pak, punya temen.”

“Susno dari awal berangkat sama saya ke Singapura. Itu dia sudah tahu Toni itu saya, sudah ngerti, Pak. Yang penting dia nggak usah masalahin. Itu kan urusan penyidik.”

"Yang penting dia ngakuin itu bahwa dia yang merintahkan untuk nyogok Chandra, itu aja.”

“Sekarang begini, dia perintahkan kan udah Ari denger, you denger kan. Sudah selesai…”

“Tapi, kalo dia nggak bantu kita Pak, terjerumus. Dia dibenci sama Susno.”

Biarin aja, tapi nyatanya dia ngomong dipanggil Susno.”

Anggodo dengan seorang perempuan (6 Agustus 2009, 20.14)

Iyo tapi ditakono tanda tangani teke sopo, iya toh gak iso jawab.
Modele bajingan kabeh, Yang.
Chandra iku yo, wis blesno ae, Yang, ojo ragu-ragu… (Iya, tapi ditanyakan ini tanda tangan siapa, iya toh tidak bisa menjawab. Modelnya bajingan semua, Yang. Chandra itu dijebloskan saja, Yang, jangan ragu-ragu...).”

Anggodo dengan seorang laki-laki (7 Agustus 2009, 22.34)

“Menurut bosnya Trunojoyo, kalau bisa besok sudah keluar.”

“Dia bilang tidak bagus, karena pemberitaannya hari Minggu,
orang sedang libur. Bagusnya Senin pagi, langsung main.”

“Truno (Trunojoyo, red) minta TV dikontak hari ini, supaya besok counter-nya dari Anggoro.”

Anggodo dengan …(8 Agustus 2009, 20.39)

Nggak usah ngomong sama penyidik. Cuma Abang saja tahu bahwa BAP-nya Ari tuh seperti itu. Jadi dalam posisi dia BAP, masih sesuai apa yang dia anu. Jangan sampai dia berpikir, kita bohong.”

“Siap, Bang.”

“Sama harus dikaitkan ini, seperti sindikat Edi, Ari sama KPK satu
sindikat mau memeras kita, ya Bang”

“Iya.”

“Intinya si Ari sudah di BAP seperti kronologis. Kenapa kok kita laporkan Ari itu. Kenapa sudah laporan begini kok dia melarikan diri.
Gitu loh. Dan si Edi itu di BAP itu nggak ngaku. Kita nggak usah ngomong. Pokoknya si Edi nggak tahu kita.

”Bang, nanti maksudnya di BAP kita nantinya, inti bahwa pengakuan itu, Bang.”

“Iya.”

“Sekarang jangan dibuka dulu. Maksudnya status si Ari itu, kita merasa Ari sama Edy dan ini tuh, ini kita diperas KPK sudah kita bayar. Kenapa jadi masalah begini. Gitu loh, Bos.”

“Iya.”

“Menurut pengakuan Ari, dia sudah membayar seluruh dana tersebut kepada orang-orang KPK, nggak tahu siapa.”

“Betul.”

Al (nama seorang laki-laki) dengan Anggodo (10 Agustus 2009,17.33)

“Secara keseluruhan apik (bagus). Anggoro nggak lari.”

Kenceng dia ngomonge (gamblang dia bicaranya).”

Kenceng. Tak rekam banter mau? (Gamblang. Saya rekam keras-keras mau?)”

Yo wes (ya sudah). Terus poin-poinnya tersasar, kan?”

“Sudah.”

“Tidak lari. Ciamik dee njelasno (bagus sekali dia menjelaskannya).”

“Ini ada suatu rekayasa, nampak dari pemanggilan jadi saksi terus tersangka. Tenggat waktu 9 bulan. Sudah kondusif. Moro-moro (tiba-tiba) karena ada testimoni, muncul pemanggilan sebagai tersangka. Secara keseluruhan oke.”

“Mengenai cekal, salah sasaran”

“Ya dalam kasus Yusuf Faisal, kok dicekal Anggoro. Itu bagaimana.
Penyitaan dan penggeledahan juga salah sasaran. Dalam kasus Yusuf
Faisal, kok yang digeledah Masaro. Pokoknya intinya sudah masuk semua.”

Alex dengan Anggodo dan Rob (nama laki-laki 3) (10 Agustus 2009:18.07)

“Iya memang di cuplikan. Nggak banyak, tapi intinya kita berkelit, kalau ini bukan penyuapan. Karena di awal itu, beritanya dari Antasari dulu, testimoni itu. Jadi dia cuplik dari Antasari, terus baru disambung ke kita, jadi dijelaskan sama Bon (nama pengacara Anggoro), kalo itu bukan penyuapan. Dan permasalahannya, kedatangan Antasari menemui Anggoro itu juga membawa konsekwensi Antasari bisa dipermasalahkan”

Ngomong gimana? Pengacara dari Anggoro press release hari ini.”


Sumber : VIVAnews - TRANSKRIP

Dengarkan Suara dari Tembok Kota

Sabtu, 24 Oktober 2009


By Ahmad Arif

Ketika suara kritis dibungkam, tembok-tembok kota pun menjelma menjadi ruang penyampai pesan. Sebuah pesan perlawanan terhadap para koruptor yang mengisap uang rakyat.

Hampir tengah malam. Jakarta gerah. Jalan Gelora di belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat itu lengang. Hanya sesekali kendaraan berlalu.

Delapan anak muda bergumul dengan kuas dan cat. Tangan-tangan mereka tangkas melabur tiang beton proyek monorel yang mangkrak. Warnanya merah menyala. Mobil polisi tiba-tiba datang, menepi. Petugas berseragam itu bertanya dari jendela mobil setengah terbuka.

”Kami sudah ada izin,” jawab seorang pemuda sekenanya. Polisi itu pun berlalu.

Tiba-tiba datang lagi lelaki lain. Dia mengaku dari kantor kelurahan. ”Tak boleh melukis di sini,” kata lelaki bernama Jefri. Dia ngotot. Anak-anak muda itu pun ngotot. ”Kami hanya bekerja, masalah izin sudah ada yang urus,” katanya.

Tak mau terjadi keributan, anak-anak muda itu pun mengalah. Mereka pergi meninggalkan pekerjaan separuh jadi. ”Kita kerjakan di tempat yang lain dulu. Masih banyak tembok lain,” seru seorang di antara mereka.

Lalu, mereka bergerak mengangkut cat dan alat-alat gambar lainnya ke arah Simprug. Baru separuh jalan ketika Jefri tiba-tiba menelepon. ”Itu cuma dicat merah saja, kan?” tanya dia. ”Merah dan sedikit gambar warna putih,” kata Ardi.

Entah mengapa, tiba-tiba Jefri luluh dan berkata, ”Kalau begitu dilanjutkan saja. Silakan, Mas.” Barangkali, begitu mendengar tentang ”merah dan putih”, nasionalisme Jefri terpompa.

Anak-anak muda itu putar haluan. Mereka meneruskan kembali pekerjaan yang tertunda. Menjelang dini hari pekerjaan mereka pun kelar. Hasilnya, sebuah gambar putih di atas latar merah tentang dua sosok lelaki yang saling berhadapan. Satu sosok besar dan gagah, dan seorang lelaki ceking dengan tangan terbelenggu yang bertanya, ”Mau berantas korupsi atau KPK?”

Gambar di tiang lainnya tentang buaya yang perkasa menginjak cicak. Sebuah sindiran tentang pergulatan ”cicak melawan buaya”.

Tak bisa dibungkam

Kisah tentang mural sarat pesan antikorupsi ini merupakan kelanjutan episode ”cicak melawan buaya”. Sebuah gerakan perlawanan yang mendapat inspirasi dari pernyataan petinggi Polri terkait dengan ”perseteruan” lembaga itu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena merasa (lembaga) lebih ”kuat”, muncullah pernyataan dari Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, ”Cicak, kok, melawan buaya.”

Irma Hidayana dari komunitas Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) mengatakan, kelompoknya terdiri dari orang-orang yang tak rela negaranya terus dibajak oleh koruptor dan centengnya. ”Saat ini KPK sebagai lembaga yang melawan korupsi dilemahkan. Pelemahan KPK berarti pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini,” katanya.

Anggota Cicak lainnya, Agam Faturrochman, mengatakan, Cicak dibentuk secara spontan untuk merespons kriminalisasi KPK. ”Tak ada koordinator, sekretaris, atau struktur organisasi. Keanggotaannya cair. Ada dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat), seniman, pengacara, pekerja swasta, dan lain-lain,” kata pekerja swasta ini.

Menurut Agam, mereka saweran untuk membiayai kampanye-kampanye antikorupsi. ”Tujuan kami mengingatkan semua pihak, khususnya pemerintah baru, untuk konsisten memberantas korupsi,” katanya.

Gerakan kritis, menurut Agam, justru akan semakin kuat ketika penguasa semakin otoriter dan tidak mau dikritik. Cicak juga tumbuh di beberapa kota lain, selain Jakarta.

”Kami akan terus menyebarkan virus antikorupsi di masyarakat. Yakinlah, jika KPK dimatikan, masyarakat tetap akan terus berjuang melawannya,” ujarnya.

”Setelah dua kawan dari ICW (Indonesian Corruption Watch) dikriminalkan karena menyampaikan dugaan korupsi di kejaksaan, gerakan kritis antikorupsi justru akan semakin kuat. Kami pasti bisa menemukan cara,” kata Irma.

Sebelumnya komunitas Cicak menggelar pertunjukan musik dan pembacaan puisi. Semuanya disisipi dengan pesan-pesan kritik terhadap korupsi. Terakhir, mereka membuat mural yang menghiasi beberapa tembok di Ibu Kota. ”Dengan mural, masyarakat luas bisa membacanya di jalan-jalan,” kata Irma.

Tak hanya di tiang monorel di belakang Gedung DPR, selama beberapa malam terakhir anak-anak muda itu bergerilya melukis tembok kota dengan ajakan untuk bersatu melawan korupsi.

Beberapa tempat lain yang mereka lukisi adalah tembok jalan layang di Simprug, tiang pancang monorel di depan Pasar Festival di Jalan HR Rasuna Said, di Dukuh Atas, di Jalan Jenderal Sudirman, di perempatan Kuningan, Jalan Gatot Subroto, di perempatan Bioskop Metropole di Jalan Diponegoro, dan dinding Stasiun Cikini.

Semua lukisan itu berwarna putih di atas latar belakang merah, berisi tentang ajakan melawan korupsi, dan bisa dilihat warga Ibu Kota berbarengan dengan pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (20/10). ”Kalau bersama-sama lebih mudah memberantasnya,” demikian pesan dari gambar tentang seekor ”tikus” yang dikepung.

Malam makin larut. Anak-anak muda itu terus bekerja. Di tangan mereka, tembok-tembok kota itu bersuara. Sebuah pesan yang jelas dan tegas kepada pemerintahan yang baru dibentuk. Pesan untuk melawan korupsi.

Sumber : Koran Kompas, Sabtu, 24 Oktober 2009

Aksi CICAK di Jawa Tengah

Rabu, 21 Oktober 2009

CICAK Merayap di Dinding Ibukota

Selasa, 20 Oktober 2009
Siaran Pers

Jakarta, 20 Oktober 2009. Tujuh ruang publik di Jakarta pada hari ini, Selasa 20 Oktober dipastikan dipenuhi dengan karya mural (lukisan dinding) anti korupsi. Mural anti korupsi ini dilakukan oleh komunitas CICAK (Cinta Indonesia Cinta KPK) sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Secara umum mural yang dikerjakan pada 17 – 19 Oktober 2009 ini bertema dukungan terhadap gerakan anti korupsi. Selain itu, melalui karya mural ini, CICAK juga menetapkan posisinya untuk memberikan dukungan terhadap gerakan anti kriminalisasi terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aktivis anti korupsi. “KPK dan aktivis anti korupsi perlu didukung, bukan dikriminalisasi”, jelas Rival GA, anggota CICAK.
Mural dipilih sebagai medium kampanye anti korupsi sebagai upaya untuk mengkomunikasikan pesan advokasi anti korupsi kepada masyarakat luas. Irma Hidayana anggota CICAK lainnya menambahkan bahwa, “Pesan anti korupsi serta anti kriminalisasi terhadap KPK dan aktivis anti korupsi mungkin akan terasa lebih mudah dipahami masyarakat umum jika dilukiskan melalui seni mural di ruang publik”. Hadirnya karya mural anti korupsi di ruang publik diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tetap kritis terhadap penyelesaian kasus-kasus korupsi serta indikasi adanya upaya-upaya pelemahan terhadap gerakan anti korupsi, lembaga tertentu maupun aktivis anti korupsi. Melalui medium mural, CICAK mengajak masyarakat luas untuk lebih kritis terhadap isu korupsi demi mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas dari Korupsi.

Mural bisa dilihat secara langsung di lokasi-lokasi berikut:
  1. Jl. Pondok Indah Simpruk, di depan Masjid Al-Istiqqamah, Jakarta Selatan.
  2. Tiang-tiang pancang monorail di depan Pasar Festival, Jl. HR. Rasuda Said. Jakarta Selatan.
  3. Putaran Dukuh Atas, di bawah Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
  4. Pilar jembatan layang di perempatan Kuningan, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
  5. Pilar rel kereta api di lampu merah perempatan Bioskop Metropoole, Jl. Diponegoro,
  6. Jakarta Pusat.
  7. Dinding Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Di depan Universitas Bung Karno.
  8. Pilar-pilar monorail di belakang Gedung DPR, Jl. Gelora, Jakarta Pusat

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Irma Hidayana 0817 186 004, Erni Setyowati 0813 14417054, Rival GA 08788098 87734

Lukisan Antikorupsi Hias Ruang Publik di Jakarta

Aprizal Rahmatullah - detikNews

Jakarta - Lukisan dinding atau mural antikorupsi kini terpampang di ruang publik di Jakarta. Mural bertema antikorupsi ini dibuat komunintas Cicak (Cintai Indonesia Cintai KPK) sebagai bentuk dukungan pada upaya pemberantasan korupsi.

"Ada 7 ruang publik yang dihias dengan lukisan, antara lain putaran Dukuh Atas di bawah Jl Sudirman, di tiang pancang monorail di depan Pasar Festival, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, dan pilar jembatan layang di perempatan Kuningan, Jl Gatot Subroto," kata anggota komunitas Cicak Rival GA, dalam siaran pers, Selasa (20/10/2009).

Mural juga dibuat di Jl Pondok Indah, di depan Masjid Al-Istiqqomah, Jaksel, pilar rel kereta api di lampu merah perempatan Bioskop Metropole, Jl Diponegoro, Jakpus, dinding Stasiun Cikini di depan Universitas Bung Karno, dan pilar monorail di belakang Gedung DPR, Jl Gelora, Jakarta Pusat.

"Pesan antikorupsi serta antikriminalisasi terhadap KPK dan aktivis antikorupsi mungkin akan terasa lebih mudah dipahami masyarakat umum jika dilukiskan di ruang publik," tambah Rival.

Dia berharap, mural ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tetap kritis terhadap gerakan antikorupsi, lembaga tertentu maupun aktivis antikorupsi.

"Kita berharap masyarakat bisa lebih kritis terhadap isu korupsi demi mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas dari korupsi," tutupnya.

(ndr/nrl)

Sumber - Detik.com

MURAL

Senin, 19 Oktober 2009


Twists and turns in Indonesia graft battle

Kamis, 15 Oktober 2009


By John McBeth


OCT 3 — Sometimes, as, as Indonesia proceeds along the often rocky path towards modern statehood, the faith we have in the country to always do the right thing is sorely tested. This is one such time.

Take a look at concerted efforts to water down the powers of the Anti-Corruption Commission (KPK) and to undermine the credibility of incoming Vice-President Boediono and Finance Minister Sri Mulyani Indrawati, the country's two top reformers.

Then wonder what was in the minds of provincial lawmakers in Aceh, who recently passed a mediaeval — and seemingly unconstitutional — by-law that allows adulterers to be stoned to death. Stoning corrupt officials would make more sense, but that did not rate a mention.

All this when Indonesia is on top of its game, emerging virtually unscathed from the global economic crisis and looking ahead to five more hopeful years under President Susilo Bambang Yudhoyono.

Given the vested interests involved, a backlash against the anti-corruption campaign was always to be expected. Certainly, it seems to prove what civil society activists have been warning about all along: As much as Indonesia seems to be laying the foundations for sound and democratic government, there is simply no room for complacency.

Immediate concerns centre on the recently passed Anti-Corruption Court Law, and the way it gives district courts the authority to change the make-up of the five-man panels by choosing three career judges and two ad hoc judges instead of the other way around.

Career judges are regarded with deep suspicion, coming as they do from a corrupt court system that has dined on bribes for decades. Ad hoc jurists drawn from the legal community are seen to be more idealistic and therefore more trustworthy.

Critics also believe the plan to establish anti-corruption courts in each province is premature, but there is some relief that the new legislation does not seek to prevent the KPK from prosecuting corruption cases.

That, according to Justice and Human Rights Minister Andi Mattalata, can happen only with the revision of the law which created the KPK — perhaps a battle that will have to be fought further down the road.

The Anti-Corruption Court Law became necessary after the Constitutional Court correctly ruled in 2006 that the existing court had no legal basis. It gave the government and Parliament until December this year to rectify the anomaly.

The arrest earlier this year of KPK chairman Antasari Azhar on charges of ordering the murder of an alleged blackmailer gave a venal coalition of police, bureaucrats and politicians the pretext to go after the commission.

Yudhoyono only fuelled the backlash by suggesting in July that the KPK had too much power. The timing of the comment was also significant, coming shortly after one of his in-laws was jailed for corruption.

Only in the last week or so has the President belatedly come out in support of the commission, saying it was essential for it to retain its prosecutorial role and also to have the ability to wiretap during the course of an investigation.

It seems clear, however, that significant segments of Parliament, the Attorney-General's Office and the police would not have continued their campaign against the KPK without feeling they had some sort of encouragement from higher up.

The police decision to go ahead and indict KPK commissioners Bibit Rianto and Chandra Hamzah on bribery charges appears to be based solely on what Antasari is alleged to have told them during his interrogation.

Why a murder case suddenly veered into an investigation of other KPK members has not been explained, but the police now seem to be providing some justification for that by formally accusing Antasari of an improper meeting with a graft suspect.

Reformists claim national police chief-of-detectives Susno Duadji is pursuing a vendetta against the KPK because of inquiries it was making into his role in the Bank Century scandal. The Supreme Audit Agency is reported to have found signs of “criminal activity” in its audit of the controversial 6.7 trillion rupiah (RM2.36 billion) bailout of the bank.

Certainly, in a lengthy text message he sent around Jakarta on July 11, Susno made no secret of his determination to literally cut the KPK down to size. In that, he seems to have succeeded, given the fact there are now only two commissioners left — not enough for it to function.

The President has had little choice aside from declaring his neutrality in the ongoing conflict, but in signing a government regulation in lieu of law to fill the vacancies left by three of the five commissioners, he now finds himself at the centre of another firestorm.

He is being accused of interfering in the KPK's status as an independent body, particularly in seeking to replace Bibit and Chandra who, unlike Antasari, have yet to be formally charged.

Sumber - Straits Times

Pemberantasan Korupsi Salah Jalan

Selasa, 06 Oktober 2009
Oleh Bivitri Susanti

Diserahkannya nama-nama pimpinan sementara KPK kepada Presiden, Senin (5/10), kian mengaburkan arah pemberantasan korupsi.

Munculnya nama-nama itu dapat mengarahkan opini keliru publik, persoalan di tubuh KPK telah selesai karena presiden sudah memberi jalan keluar terbaik dengan membuat jumlah pimpinan kembali menjadi lima.

Langkah ini diawali keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK pada 23 September. Lalu dibentuk Tim Lima, yang bertugas menyerahkan nama-nama pimpinan sementara KPK kepada Presiden.

Perppu itu sendiri sudah kontroversial karena ”hal ihwal kegentingan memaksa” yang seharusnya mendasari keluarnya perppu terlihat seperti ”hal ihwal kepentingan yang memaksa”. Sebab, presiden ”potong kompas” melalui perppu untuk memilih pimpinan sementara sebuah lembaga yang jelas tidak di bawah kendali presiden, sementara ada jalan lain yang bisa dipilih. Misal, membenahi koordinasi antarpenegak hukum, mempercepat proses pemilihan pimpinan.

Tulisan Benny K Harman (Kompas, 5/10) dapat mengaburkan peta pemberantasan korupsi sehingga kita salah jalan. Yang seharusnya dilakukan presiden bukan ”mengatasi merosotnya integritas KPK” seperti ditulis Benny. Tulisan itu dapat mengarahkan pada persepsi keliru tentang pemberantasan korupsi dan KPK dengan mengatakan, integritas KPK sudah merosot. Benarkah? Atau masalah sebenarnya ”serangan” terhadap KPK?

Akar masalah

Harus diingat, akar masalah bukan ”jumlah” pimpinan KPK, tetapi serangan terhadap kerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Isu jumlah pimpinan adalah akibat serangan terhadap kerja KPK. Sayang, aksi yang menyebabkan masalah jumlah ini justru tidak disasar presiden. Presiden cenderung lepas tangan, reaksinya pada masalah jumlah. Di titik ini, sebenarnya perlu dipertanyakan sejauh mana komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi.

Jangan lupa, kisah ini berawal dari sangkaan Polri terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tentang penyalahgunaan wewenang. Di sini kita kesampingkan dulu dakwaan pidana pembunuhan yang dikenakan terhadap Antasari Azhar yang punya dimensi berbeda.

Sangkaan awal Polri terhadap dua pimpinan KPK itu terkait penetapan dan pencabutan larangan bepergian ke luar negeri (pencegahan) kepada Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo. Padahal, wewenang KPK untuk ”memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” diatur jelas dalam UU KPK (Pasal 12 Ayat (1) huruf b).

Sangkaan ini lalu berubah. Namun, ini justru menandakan ketidaksiapan Polri dalam menangani kasus ini. Bahkan, sebagian pihak menengarai adanya masalah yang dicari-cari sehingga Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dilaporkan ke Inspektorat Pengawasan Umum Polri oleh pengacara KPK.

Serangan balik terhadap KPK ini juga dapat dilihat dengan mata telanjang. Sayang, ditutup tirai kepentingan politik. Misalnya dengan munculnya berita terbaru tentang pesan singkat berisi ancaman yang dikirimkan ke KPK.

Harapan

Seberapa pun pihak yang tidak setuju dengan proses yang amburadul ini, kenyataannya perppu sudah keluar dan pimpinan sementara sudah ada. Tinggal harapan yang mungkin kita sematkan pada pundak para pimpinan sementara KPK itu.

Pertama, agar mereka dapat menjalankan tugas-tugas di KPK secara baik dan tetap independen tanpa harus memosisikan diri di bawah presiden, meski proses pemilihan mereka hanya diatur presiden. Tiga nama ini memang tidak asing dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Namun, proses yang keliru dengan mengeluarkan perppu yang menunjuk Tim Lima tetap harus diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk di masa datang. Ketiga pimpinan sementara ini justru yang harus membantu meluruskannya.

Kedua, agar mereka bisa mengingatkan presiden untuk memberesi kekeruhan soal pimpinan KPK dan mengingatkan, masalahnya adalah status tersangka dua pimpinan KPK tanpa adanya dasar hukum kuat. Sangkaan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto harus segera dibereskan dan pemeriksaan terhadap Kepala Bareskrim harus dituntaskan.

Membaca peta pemberantasan korupsi yang kian semrawut ini, kita harus berharap pada kalangan masyarakat sipil agar lebih aktif mengawasi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, sudah terlihat gelagatnya pemerintah dan politisi tidak mendukung gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

BIVITRI SUSANTI Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia; Kandidat PhD pada University of Washington School of Law, Seattle, AS