Dimuat di Koran Tempo, Senin, 9 November 2009
Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Kepolisian Kamis (5/11) tampak seperti sebuah drama yang ditayangkan di televisi. Beberapa informasi yang disampaikan membuat bingung masyarakat yang sebelumnya menonton sidang Mahkamah Konstitusi terkait kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Yang mengemuka dari rapat dengar pendapat tersebut adalah terbukanya rapat itu. Tentu saja kita harus menghargai dan bahkan mendorong keterbukaan di DPR. Tapi perhatikan bahwa rapat dengar pendapat dengan KPK, yang berada dalam satu rangkaian dengan rapat dengar pendapat dengan Kapolri dan dilaksanakan sehari sebelumnya, justru dilaksanakan secara tertutup. Akibatnya, yang terjadi adalah penciptaan forum publik untuk Kepolisian. Dan karena forum ini memang berupa rapat dengar pendapat dengan hanya satu institusi, tidak bisa ada perimbangan informasi. Kalau DPR mau konsisten dengan keterbukaannya, mestinya semua rapat terbuka untuk umum, tidak ada yang ditutup.
Forum Politik
Penting untuk dijernihkan, rapat dengar pendapat Komisi III dengan Kapolri adalah sebuah forum politik. Bukan forum hukum (pro justitia), seperti halnya di pengadilan; baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi. Posisi rapat dengar pendapat sebagai forum politik mempunyai dua konsekuensi.
Pertama, standar validitas data dan klarifikasinya sangat berbeda. Proses pengadilan itu rumit dan prosedurnya diatur dalam hukum acara dalam sebuah undang-undang karena standar validitas data yang diajukan amat tinggi mengingat seseorang akan dihukum sebagai keluaran dari prosedur itu. Setiap keterangan yang diberikan harus diperiksa-silang dan diberikan alat bukti yang cukup. Tidak bisa hanya berupa rangkaian pernyataan seperti yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat tersebut. Apalagi pernyataan ini hanya dari satu pihak.
Kedua, terkait dengan yang pertama, yang keluar dari forum itu bukan sebuah "putusan hukum". Ini penting untuk digarisbawahi karena ada beberapa anggota yang sempat mengusulkan penyimpulan yang mengesankan adanya “kebenaran mutlak” dalam forum itu. Bahkan sempat ada kata-kata yang menyatakan adanya “opini illegal” yang mengesankan bahwa kesimpulan RDP Komisi III DPR adalah “opini legal.” Ini pernyataan yang salah dan menyesatkan bagi publik.
Dukungan Berlebihan
Yang juga tak lazim dalam dinamika sebuah parlemen adalah dukungan yang berlebihan dari anggota DPR. Tidak hanya puja-puji yang diberikan kepada Kepolisian, bahkan juga tepukan tangan setelah pernyataan Kabareskrim Susno Duadji bahwa dirinya tidak menerima suap. Ini sungguh suatu praktek yang tidak jamak dilakukan. Mungkin saja karena sebagian besar anggota DPR yang sekarang baru, atau memang karena ada dukungan yang ingin diperlihatkan secara telanjang pasca-diperdengarkannya rekaman penyadapan di MK.
Dengar pendapat atau hearing dalam sebuah parlemen merupakan urusan yang serius dan digunakan oleh anggota parlemen untuk mendalami suatu kasus. Tujuannya bisa untuk mengawasi jalannya pemerintahan atau membuat suatu kebijakan. Di Amerika Serikat, Belanda, dan Jepang -sekadar untuk menyebut tiga contoh dari banyak negara- dalam beberapa dengar pendapat ada testimoni yang diberikan di bawah sumpah. Dan semua dengar pendapat juga biasanya dilakukan dalam sidang yang memang terbuka. Di situlah biasanya anggota parlemen menunjukkan “taringnya” kepada konstituennya dengan memberikan pertanyaan yang bermutu.
Anggota parlemen biasanya menggunakan kesempatan dengar pendapat untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan berkualitas. Sebab ini akan berguna baginya untuk bisa mendalami kasus dan memberikan kesimpulan yang terbaik. Bukan pernyataan-pernyataan yang tidak relevan. Apalagi tepukan tangan, yang sifatnya hanya menunjukkan dukungan politik.
Meski ini tidak melanggar kode etik DPR, sesungguhnya tidak pada tempatnya anggota DPR berperilaku seperti ini. Sudah lama kita berbicara soal rapat-rapat di DPR yang dipandang tidak efisien dan efektif. Sebagian anggota DPR sendiri pernah mengeluh tentang betapa kerasnya mereka bekerja sementara sebagian organisasi menilai buruknya kinerja DPR. Barangkali rapat hingga jam tiga pagi kemarin adalah salah satu contoh kerja keras mereka. Namun di sini kita melihat sendiri bahwa tidak efektifnya rapat ternyata sebagian disebabkan oleh perilaku anggota sendiri yang membuat rapat berlarut-larut dengan memberikan pernyataan-pernyataan yang tak perlu dalam sebuah dengar pendapat.
Pembaruan Institusi
Kita setuju bahwa semua institusi penegak hukum harus didukung dalam melakukan kerjanya secara sinergis. Bila DPR memang ingin berkontribusi menyelesaikan masalah ini, DPR mestinya berpikir dalam kerangka pembaruan jangka panjang. Ini bukan soal mendukung satu institusi dan menghujat yang lainnya. Ini adalah persoalan institusi-institusi penegakan hukum yang harus dirombak total. Pihak yang membuka kasus-kasus korupsi di tubuh Kepolisian pasti tidak ingin membubarkan Kepolisian. Di manapun di dunia ini Kepolisian diperlukan penegakan hukum. Masalahnya adalah kepolisian yang seperti apa? Yang tidak korup dan profesional.
Bila DPR memang benar-benar ingin menjadi wakil rakyat, poin inilah yang mestinya dicermati dan digali. Bukan mendalami suatu kasus dan bertanding dengan lembaga peradilan untuk membongkar kasus tertentu.
Cicak Nguntal Boyo (Cicak Telan Buaya)
15 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar