Bibit-Chandra Tersangka Lagi

Senin, 19 April 2010
PN Jaksel Kabulkan Praperadilan
Selasa, 20 April 2010 | 03:45 WIB

Jakarta, Kompas - Dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, Senin (19/4), kembali berstatus sebagai tersangka. Bahkan, berkas perkara keduanya harus dilimpahkan ke pengadilan sesuai putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Hari Senin, hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Nugroho Setyadi, memutuskan menerima permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo. Tersangka kasus upaya penyuapan dan menghalangi penyelidikan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu mempraperadilankan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) dari kejaksaan terhadap Bibit dan Chandra. Pimpinan KPK itu sebelumnya diduga menerima suap dan melakukan upaya pemerasan. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya SKPP adalah sosiologis masyarakat.

Menurut hakim, aspek sosiologis tak pernah menjadi alasan untuk penerbitan SKPP. Anggodo juga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan itu sehingga permohonannya dikabulkan. Kejaksaan diperintahkan segera melimpahkan berkas Chandra dan Bibit ke pengadilan.

Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR, T Gayus Lumbuun, menilai, putusan PN Jakarta Selatan itu kian menguatkan bahwa memang ada yang kurang tepat saat kejaksaan menyatakan berkas perkara Bibit dan Chandra sudah lengkap. ”Padahal, masih ada missing link, yaitu orang yang diduga menyerahkan uang kepada Bibit dan Chandra. Ini, kan, belum ketemu,” katanya.

Menurut Gayus, Jaksa Agung Hendarman Supandji tak pernah memberikan jawaban soal missing link itu. Akibatnya, bisa diduga, penerbitan SKPP terhadap kasus Bibit dan Chandra adalah berdasarkan kompromi, bukan hukum, sehingga bisa dipatahkan dalam praperadilan.

Upayakan banding

Secara terpisah, Senin di Jakarta, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy mengemukakan, masih ada upaya banding terhadap putusan PN Jakarta Selatan itu. Selain menggugat kejaksaan, Anggodo yang diwakili kuasa hukumnya, Bonaran Situmeang, juga menggugat kepolisian.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menambahkan, kejaksaan dipastikan melakukan upaya banding terhadap putusan PN Jakarta Selatan itu. Banding akan dilakukan setelah kejaksaan menerima salinan putusan.

Bonaran mengatakan, putusan PN Jakarta Selatan itu bukan untuk Anggodo, melainkan kemenangan hukum. ”Ternyata hukum masih bisa berdiri tegak di Indonesia. SKPP tak bisa digunakan untuk menghentikan berkas perkara yang lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan, seperti berkas perkara Bibit dan Chandra,” kata dia.

Sebaliknya, KPK berharap kejaksaan konsisten dengan sikap mereka saat mengeluarkan SKPP dengan mengajukan upaya banding. ”Kita tentu hormati proses hukum. Dalam perkara ini KPK bukan termohon. Termohon adalah kejaksaan,” tutur Kepala Biro Hukum KPK Khaidir Ramli.

Bibit menambahkan, ia dalam posisi pasif dalam kasus ini. ”Mudah-mudahan kejaksaan melakukan banding. Yang jelas, kasus yang dituduhkan ke saya itu rekayasa,” ujarnya.

Bibit menambahkan, siapa pihak yang merekayasa sudah jelas kelihatan pada sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 3 November 2009.

Mantan kuasa hukum Chandra dan Bibit, Bambang Widjojanjo, mengatakan, proses peradilan yang memenangkan Anggodo mengabaikan fakta hukum yang didapat secara jelas di MK. ”Di MK jelas ada keterlibatan Anggodo dalam mengkriminalkan Bibit dan Chandra,” ungkapnya.

Bambang menambahkan, praperadilan harus diimbangi dengan sikap KPK untuk menuntaskan upaya penyuapan dan menghalangi penyidikan korupsi dengan Anggodo sebagai tersangkanya.

Ia juga berharap kejaksaan dalam waktu dekat melakukan banding. Bibit dan Chandra selaku pihak ketiga tak dapat melakukan upaya hukum langsung terhadap putusan praperadilan itu.

Delegitimasi KPK

Bambang juga mengkhawatirkan implikasi putusan praperadilan itu adalah delegitimasi terhadap KPK kian nyata.

Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia Teten Masduki menilai, diterimanya praperadilan Anggodo akan membawa konsekuensi ke kinerja KPK. ”Dari segi waktu dan pikiran, Bibit dan Chandra akan disibukkan lagi dengan proses hukum kasusnya,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Teten, harus dipikirkan solusinya secara obyektif oleh pimpinan dan internal KPK. ”Ada kecurigaan pelemahan KPK pascakasus Miranda S Goeltom (dugaan suap kepada anggota DPR terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia) dan Bank Century, biarkan pimpinan KPK dan jajaran internalnya untuk menentukan sikap apakah perlu menambah pimpinan baru atau tidak. Untuk menjaga independensi KPK, semua pihak harus menghormati putusan KPK ini,” papar Teten.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mengungkapkan, putusan PN Jakarta Selatan harus dihormati karena pengadilan adalah lembaga yang merdeka, tidak bisa diintervensi kekuasaan mana pun, tetapi ia akan mempelajari putusan itu.

Menurut Denny, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyimak pemberitaan terkait putusan PN Jakarta Selatan itu. Kalau memang perlu, Presiden akan memberikan tanggapannya melalui juru bicara.

Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding, berharap kinerja KPK tidak banyak terganggu setelah PN Jakarta Selatan, Senin, membatalkan SKPP terhadap Bibit dan Chandra. Kasus ini jangan sampai membuat KPK disibukkan dengan dirinya sendiri lalu melalaikan pengusutan sejumlah kasus, seperti Bank Century. KPK tetap harus bekerja hingga kemungkinan adanya upaya pelemahan KPK di balik kasus itu dapat digagalkan.

Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mempersilakan kejaksaan mengajukan banding atas putusan pengadilan itu. Jika putusan dinilai tidak sesuai hukum, Komisi Yudisial bisa melakukan eksaminasi dan publik melakukan penilaian. (idr/aik/nwo/sf/day/tra)

Makelar di Markas Besar

Minggu, 11 April 2010
Wahyu Dhyatmika, Maria Hasugian (Jakarta), S.G. Wibisono (Balikpapan), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

KANTOR PT Fankhaus Far East di Gedung Selmis, tepat di sebelah stasiun kereta api Tebet, Jakarta Selatan, tampak lengang. Kaca gelap dan pintu gulung membuat penampilan kantor konsultan manajemen itu kontras dengan hiruk-pikuk deret an warung soto dan penjual bakso di kanan-kirinya. Tidak ada penanda apa pun di depannya. Hanya tempelan stiker merah menyala berlambang panah dengan tulisan ”Bareskrim”.

Para penyewa ruangan di perkantoran Selmis mengenal pemilik Fankhaus sebagai ”Pak Jenderal”. Seorang anggota staf di satu kantor fi rma hukum di sana bahkan menjelaskan kantor itu biasa dijaga polisi militer. ”Dia memang sudah lama di sini,” katanya. Tapi, Jumat pekan lalu, hanya ada dua pria penunggu kantor itu. Saat Tempo masuk, ruang depan kantor itu kosong melompong dan berdebu.

Di ruangan sebelah, bertumpuk-tumpuk kursi, meja, buku, dan perabot lain. Semua barang itu ditumpuk sekena nya, membuat ruangan mirip gudang penyimpanan. Bahkan kemeja dan kaus digantung di sana-sini. Sekilas, sulit untuk percaya bahwa kantor itu milik seorang bekas diplomat yang dikenal dekat dengan petinggi hukum di negeri ini: Sjahril Djohan.

”Lagi sepi, Mas,” kata si penjaga kantor, pria kurus tinggi dengan rambut sedikit gondrong, saat ditanya soal kondisi kantornya yang mengenaskan. Setelah menanyakan maksud kedatangan Tempo, dia menghubungi seseorang melalui telepon. Lima menit kemudian, telepon berdering.

”Pak Sjahril tidak ada,” kata suara di seberang. Suara perempuan bernada tegas. Dia lalu setengah memerintah, ”Tinggalkan saja nomor telepon Anda, nanti saya hubungi.” Telepon ditutup. Tak sampai semenit, mendadak telepon berdering lagi. Perempuan yang sama di ujung telepon. ”Nama saya cuma untuk Anda. Jangan sebut-sebut nama saya.”

WAJAH Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji mendadak tegang. ”Saya sudah menghitung risiko tindakan saya,” katanya. ”Mati pun saya tidak takut,” katanya lagi. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ini memandang wajah para anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di sekelilingnya, dengan sorot mata tajam. Keringat bercucuran di keningnya.

Kamis pekan lalu, setelah sempat tiarap beberapa saat, didampingi belasan pengacara, Susno muncul di Senayan. Sepekan sebelumnya, pria asal Pagar Alam, Sumatera Selatan, ini memang sudah mengajukan surat permohonan perlindungan hukum ke parlemen. ”Soalnya, klien saya mau diadili secara in absentia di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri,” kata kuasa hukum Susno, Henry Yosodiningrat.

Di tengah pertemuan dengan Komisi Hukum inilah Susno meledakkan ”bom nuklir”-nya yang kedua. Mafi a hukum dalam kasus Gayus Tambunan yang ia ledakkan sebelumnya tak hanya beraksi sekali. Kelompok yang sama bermain dalam kasus pidana PT Salmah Arwana Lestari di Pekanbaru.

”Andi Kosasihnya sama, Haposannya sama, jaksanya sama, dan Mr X-nya juga sama,” kata Susno. Nilai kasus ini jauh lebih besar daripada kasus Gayus Tambunan yang ”hanya” Rp 28 miliar. Modal awal perusahaan itu mencapai Rp 100 miliar dengan investasi tambahan berupa bibit ikan arwana dan tenaga ahli senilai Rp 32 miliar. Menurut Susno, modus permainan makelar kasus dalam perkara PT Salmah Arwana adalah meng ubah kasus perdata menjadi pidana.

Tak hanya menyebut nama dan kasus baru, Susno membongkar jejaring makelar kasus di Trunojoyo, markas besar hamba wet. Mr X dekat dengan MP, jenderal bintang tiga di kepolisian. Setelah sempat diprotes kanankiri karena menyamarkan tokoh-tokoh kunci ini dengan inisial, Susno akhirnya mengalah. Dia membuka identitas terang X dan MP dalam rapat tertutup.

Seusai rapat, sejumlah politikus membenarkan bahwa yang dimaksud Susno sebagai Mr X adalah Sjahril Djohan, sementara MP adalah Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara, mantan Wakil Kepala Polri. Pagipagi, Makbul sudah membantah. ”Segala aktivitas SJ tidak ada kaitannya dengan saya,” tulis Makbul dalam pesan pendek yang disebarkan kepada jurnalis.

Tak hanya diduga piawai memelintir kasus, jejaring makelar kasus yang dipimpin Sjahril ini dituding punya kekuasaan luar biasa besar. Mereka bisa memindahkan pejabat polisi yang menolak bekerja sama. Begitu Susno membeberkan peran Sjahril, informasi pun mengalir. Satu sumber Tempo berbisik, Sjahril Djohan bermain dalam penerbitan surat perintah penghentian penyidikan dalam kasus penyerobotan lahan pertambangan milik Porodisa oleh Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur, dua tahun lalu.

Jejak Haposan dan kawan-kawan juga tercium dalam kempisnya kasus dugaan suap atas Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar yang diungkap Komisaris Besar Tubagus Irman Santosa, berkaitan dengan penyidikan kasus L/C bodong BNI, empat tahun lalu. Saat itu, Haposan adalah kuasa hukum Irman. Kasus itu menguap karena kurang bukti.

Komplotan ini juga dituduh bermain dalam pencairan fulus milik Tommy Soeharto di BNP Paribas senilai US$ 10 juta pada 2007. Pencairan ini mulus berkat bantuan para pejabat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketika itu, Haposan dituduh mencoba memeras kuasa hukum Tommy, Hidayat Achyar (lihat ”Bancakan Laporan Bocor”).

Tak aneh jika anggota Komisi Hukum terpesona mendengar cerita Susno. ”Jaringan mafi a ini melibatkan seluruh institusi penegak hukum. Semua datanya ada di Pak Susno,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani. ”Kalau benar Mr X adalah sutradaranya, ini adalah kejahatan paripurna dari hulu sampai hilir.”

TIDAK mudah masuk ke kawasan penangkaran ikan arwana milik PT Salmah Arwana Lestari di Desa Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, sekitar 40 kilometer di utara Pekanbaru. Tiga orang petugas keamanan melarang siapa pun mendekat. ”Tidak punya izin tidak boleh masuk,” kata satu petugas berbadan kekar.

Total ada 34 kolam ikan di lokasi peternakan arwana seluas 20 hektare itu. Pagar kawat setinggi tiga meter membatasi orang yang ingin mendekat. Peternakan itu juga dilengkapi laboratorium pembibitan dan pembesaran ikan arwana.

Perkara pidana yang membelit perusahaan ini berawal dari pecah kongsinya dua pemilik PT Salmah: Anwar Salmah alias Amo, 61 tahun, pengusaha lokal di Riau, dan Ho Kian Huat, pengusaha asal Singapura. Pada 1992, mereka sepakat bekerja sama mendirikan perusahaan bernama CV Sumatera Aquaprima—belakangan berganti nama menjadi PT Sumatera Aquaprima Buana.

Dalam skema kongsi ini, Ho Kian Huat menyiapkan modal usaha serta mendatangkan bibit dan induk ikan arwana dari Singapura, sementara Amo menyiapkan lokasi di Indonesia. Total dana yang digelontorkan Ho Kian saat itu sekitar Rp 130 miliar. Pada 1993, dia juga mengirim sekitar 1.500 anak ikan arwana, jenis super red, cross back golden, dan golden red, untuk dikembangbiakkan di Pekanbaru. Kerja sama berjalan mulus sampai sepuluh tahun. Amo mengembangbiakkan ikan-ikan arwana, sementara Ho Kian menjualnya ke Cina, Jepang, Amerika, dan Eropa dengan bendera per usahaannya sendiri, Rainbow Aquarium. Sengketa muncul pada 2002 saat Amo memutuskan jalan sendiri dan mulai potong kompas: menjual langsung arwana ke Jepang.

Ho Kian, yang merasa ditipu, mengadukan Amo ke Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan. Pengacara yang membantu Ho Kian untuk perkara ini adalah Haposan Hutagalung. Pada Maret 2008, pengacara Amo, Johny Irianto, balik melaporkan Ho Kian ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. ”Kami tidak mau dituding melakukan penggelapan,” kata Johny.

Amo juga menggugat Ho Kian secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun lalu, majelis hakim memenangkan Amo dalam sengketa ini. Putusan pengadilan negeri ini dikuatkan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Di sini kejanggalan mulai muncul. Johny mengaku heran mengapa polisi ngotot meneruskan kasus pidana yang dilaporkan Ho Kian. ”Padahal, dengan adanya keputusan perdata yang memenangkan kami, seharusnya kasus pidananya batal demi hukum,” katanya.

Keanehan inilah yang juga dicium Susno. ”Sejak awal, saya yakin ini kasus perdata,” kata Susno Duadji saat bersaksi di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Dia menilai tidak ada alasan untuk menindaklanjuti pengaduan pidana Ho Kian. Pengaduan Ho Kian dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Ketika kasus ini terjadi, Susno belum menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal, melainkan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi membantah tudingan Susno soal makelar kasus dalam perkara ini. ”Kasus pidana yang diadukan Ho Kian memang sudah lengkap, tapi kasus yang diadukan Amo juga kami proses,” kata Ito. ”Kita uji saja nanti di pengadilan. Kalau lemah, pasti ada rekayasa,” katanya.

SELAIN bisa mengubah kasus perdata menjadi pidana, trio makelar kasus Sjahril Djohan dkk dituding bisa menyulap kasus pidana menjadi perdata. Kasus dugaan penyerobotan la han pertambangan di Kalimantan Timur milik PT Porodisa Trading and Industrial oleh PT Kaltim Prima Coal disebut-sebut sebagai contohnya. Kasus ini mencuat pada 2008 ketika Porodisa mengadukan tindakan Kaltim Prima Coal membuka enam kawasan pertambangan di area hutan seluas

8.480 hektare yang mereka kuasai. Ketika itu, lembaga advokasi lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup, menuding anak perusahaan Bumi Resources itu tidak mengantongi izin hak pemanfaatan hutan. ”Seharusnya KPC mengurus izin ini terlebih dahulu,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Izal Wardana saat kasus ini mulai mencuat.

Pengaduan Porodisa ditanggapi baik oleh polisi. Kepala Polda Kalimantan Timur saat itu, Inspektur Jenderal Indarto, menetapkan Manajer TambangKaltim Prima Coal R. Utoro sebagai tersangka. Namun mendadak angin berbalik pada Agustus 2008.

Indarto dicopot dua bulan sebelum pensiun dan digantikan Inspektur Jenderal Andi Masmiyat. ”Sejak itu, penanganan kasus KPC mandek,” kata Izal. Tak hanya mandek. Begitu dilantik, Kepala Polda yang baru langsung mencabut status tersangka Utoro. Tiga bulan kemudian, Masmiyat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan untuk kasus Kaltim Prima Coal. ”Ini hanya masalah perdata,” katanya ketika itu.

Indarto sendiri, kini pensiun, menolak berkomentar soal insiden itu. ”Itu sudah dua tahun lalu,” katanya pekan lalu. Dia mengaku kenal dengan Sjahril Djohan. ”Waktu saya masih di Bareskrim, dia sering ada di sana,” ujarnya. Seorang sumber Tempo menduga Sjahril Djohan berperan dalam pencopotan Indarto. Soal ini, Indarto justru yang membantah. ”Pencopotan saya adalah kewenangan penuh Kapolri,” katanya kalem.

PENGACARA Haposan, John Panggabean, tidak terima kliennya disebut sebagai makelar kasus. ”Ini pembunuhan karakter,” katanya saat ditemui Jumat pekan lalu. Menurut John, Haposan adalah advokat berpengalaman yang rekam jejaknya lurus. ”Dia menerima semua perkara, dari yang tidak ada duitnya macam kasus mutilasi anak jalanan sampai kasus korupsi BNI,” ujarnya. Karena itulah nama Haposan bertebaran dalam kasus-kasus besar. ”Jaringannya memang luas,” katanya. ”Masak karena itu dia dituduh sebagai makelar kasus?” Menurut John, peran Haposan dalam kasus Gayus Tambunan juga semata-mata untuk membela kliennya.

”Dia tidak terlibat merekayasa pengakuan Andi Kosasih,” ujarnya. Ketua Persatuan Advokat Indonesia Otto Hasibuan, yang juga ketua tim kuasa hukum Haposan, balik menuding polisi tidak cermat menyusun sangkaan atas kliennya. ”Kalau dia turut serta menyuap, siapa yang disuap? Tolong beri tahu saya,” katanya keras. Meski menolak semua tuduhan, tim pembela Haposan membenarkan satu hal: Haposan memang kenal dengan Andi Kosasih. ”Mereka kenal saat menangani kasus PT Salmah Arwana Lestari,” kata John Panggabean. Namun dia tak bisa memerinci bentuk kerja sama Andi dan Haposan saat itu.

Kuasa hukum Andi Kosasih, O.C. Kaligis, belum mau banyak berkomentar soal kliennya. Telepon dan pesan pendek Tempo tidak berbalas. ”Kita tunggu dulu hasil pemeriksaan,” katanya kepada sejumlah jurnalis, dua pekan lalu. Andi Kosasih disangka terlibat dalam kongkalikong yang membebaskan Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Pajak Golongan IIIa yang memiliki rekening Rp 28 miliar.

Dari tiga tertuduh komplotan makelar kasus yang dibongkar Susno, memang tinggal Sjahril Djohan yang belum
jelas sosoknya. Ada kabar, eks diplomat yang dikenal punya kemampuan intelijen ini sudah mengungsi ke Perth, Australia. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung, yang pernah mengangkat Sjahril sebagai anggota staf ahli Kejaksaan Agung pada 2001, mengaku tak yakin akan akurasi tuduhan Susno. ”Tidak masuk akal,” katanya pekan lalu. ”Saya kenal dia sebagai pribadi berkarakter baik.”

Seorang pejabat yang menolak disebut namanya membenarkan. ”Sjahril Djohan membantu polisi mengungkap kasus korupsi di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, kasus manipulasi tiket di Kementerian Luar Negeri, dan banyak kasus korupsi lain,” katanya. Tujuh tahun lalu, namanya pernah dimuat majalah Tempo karena mengungkap aset-aset yang ditinggalkan koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja, di Australia.

Ketika itu, Tempo sempat mewawancarainya di kantor PT Fankhaus di perkantoran Selmis, Tebet. Saat pekan lalu Tempo datang lagi ke sana, staf Sjahril masih ingat pada wawancara itu. ”Semua ini salah besar,” kata si penjaga kantor sambil memukul tumpukan koran keras-keras. Hampir semua media hari-hari ini memang memuat besar-besar tuduhan Susno soal peran Sjahril Djohan sebagai makelar kasus. Ia melanjutkan, ”Tunggu saja penjelasan dari pengacara Pak Sjahril.”


Sumber : Tempo Interaktif