Dengarkan Suara dari Tembok Kota

Sabtu, 24 Oktober 2009


By Ahmad Arif

Ketika suara kritis dibungkam, tembok-tembok kota pun menjelma menjadi ruang penyampai pesan. Sebuah pesan perlawanan terhadap para koruptor yang mengisap uang rakyat.

Hampir tengah malam. Jakarta gerah. Jalan Gelora di belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat itu lengang. Hanya sesekali kendaraan berlalu.

Delapan anak muda bergumul dengan kuas dan cat. Tangan-tangan mereka tangkas melabur tiang beton proyek monorel yang mangkrak. Warnanya merah menyala. Mobil polisi tiba-tiba datang, menepi. Petugas berseragam itu bertanya dari jendela mobil setengah terbuka.

”Kami sudah ada izin,” jawab seorang pemuda sekenanya. Polisi itu pun berlalu.

Tiba-tiba datang lagi lelaki lain. Dia mengaku dari kantor kelurahan. ”Tak boleh melukis di sini,” kata lelaki bernama Jefri. Dia ngotot. Anak-anak muda itu pun ngotot. ”Kami hanya bekerja, masalah izin sudah ada yang urus,” katanya.

Tak mau terjadi keributan, anak-anak muda itu pun mengalah. Mereka pergi meninggalkan pekerjaan separuh jadi. ”Kita kerjakan di tempat yang lain dulu. Masih banyak tembok lain,” seru seorang di antara mereka.

Lalu, mereka bergerak mengangkut cat dan alat-alat gambar lainnya ke arah Simprug. Baru separuh jalan ketika Jefri tiba-tiba menelepon. ”Itu cuma dicat merah saja, kan?” tanya dia. ”Merah dan sedikit gambar warna putih,” kata Ardi.

Entah mengapa, tiba-tiba Jefri luluh dan berkata, ”Kalau begitu dilanjutkan saja. Silakan, Mas.” Barangkali, begitu mendengar tentang ”merah dan putih”, nasionalisme Jefri terpompa.

Anak-anak muda itu putar haluan. Mereka meneruskan kembali pekerjaan yang tertunda. Menjelang dini hari pekerjaan mereka pun kelar. Hasilnya, sebuah gambar putih di atas latar merah tentang dua sosok lelaki yang saling berhadapan. Satu sosok besar dan gagah, dan seorang lelaki ceking dengan tangan terbelenggu yang bertanya, ”Mau berantas korupsi atau KPK?”

Gambar di tiang lainnya tentang buaya yang perkasa menginjak cicak. Sebuah sindiran tentang pergulatan ”cicak melawan buaya”.

Tak bisa dibungkam

Kisah tentang mural sarat pesan antikorupsi ini merupakan kelanjutan episode ”cicak melawan buaya”. Sebuah gerakan perlawanan yang mendapat inspirasi dari pernyataan petinggi Polri terkait dengan ”perseteruan” lembaga itu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena merasa (lembaga) lebih ”kuat”, muncullah pernyataan dari Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, ”Cicak, kok, melawan buaya.”

Irma Hidayana dari komunitas Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) mengatakan, kelompoknya terdiri dari orang-orang yang tak rela negaranya terus dibajak oleh koruptor dan centengnya. ”Saat ini KPK sebagai lembaga yang melawan korupsi dilemahkan. Pelemahan KPK berarti pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini,” katanya.

Anggota Cicak lainnya, Agam Faturrochman, mengatakan, Cicak dibentuk secara spontan untuk merespons kriminalisasi KPK. ”Tak ada koordinator, sekretaris, atau struktur organisasi. Keanggotaannya cair. Ada dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat), seniman, pengacara, pekerja swasta, dan lain-lain,” kata pekerja swasta ini.

Menurut Agam, mereka saweran untuk membiayai kampanye-kampanye antikorupsi. ”Tujuan kami mengingatkan semua pihak, khususnya pemerintah baru, untuk konsisten memberantas korupsi,” katanya.

Gerakan kritis, menurut Agam, justru akan semakin kuat ketika penguasa semakin otoriter dan tidak mau dikritik. Cicak juga tumbuh di beberapa kota lain, selain Jakarta.

”Kami akan terus menyebarkan virus antikorupsi di masyarakat. Yakinlah, jika KPK dimatikan, masyarakat tetap akan terus berjuang melawannya,” ujarnya.

”Setelah dua kawan dari ICW (Indonesian Corruption Watch) dikriminalkan karena menyampaikan dugaan korupsi di kejaksaan, gerakan kritis antikorupsi justru akan semakin kuat. Kami pasti bisa menemukan cara,” kata Irma.

Sebelumnya komunitas Cicak menggelar pertunjukan musik dan pembacaan puisi. Semuanya disisipi dengan pesan-pesan kritik terhadap korupsi. Terakhir, mereka membuat mural yang menghiasi beberapa tembok di Ibu Kota. ”Dengan mural, masyarakat luas bisa membacanya di jalan-jalan,” kata Irma.

Tak hanya di tiang monorel di belakang Gedung DPR, selama beberapa malam terakhir anak-anak muda itu bergerilya melukis tembok kota dengan ajakan untuk bersatu melawan korupsi.

Beberapa tempat lain yang mereka lukisi adalah tembok jalan layang di Simprug, tiang pancang monorel di depan Pasar Festival di Jalan HR Rasuna Said, di Dukuh Atas, di Jalan Jenderal Sudirman, di perempatan Kuningan, Jalan Gatot Subroto, di perempatan Bioskop Metropole di Jalan Diponegoro, dan dinding Stasiun Cikini.

Semua lukisan itu berwarna putih di atas latar belakang merah, berisi tentang ajakan melawan korupsi, dan bisa dilihat warga Ibu Kota berbarengan dengan pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (20/10). ”Kalau bersama-sama lebih mudah memberantasnya,” demikian pesan dari gambar tentang seekor ”tikus” yang dikepung.

Malam makin larut. Anak-anak muda itu terus bekerja. Di tangan mereka, tembok-tembok kota itu bersuara. Sebuah pesan yang jelas dan tegas kepada pemerintahan yang baru dibentuk. Pesan untuk melawan korupsi.

Sumber : Koran Kompas, Sabtu, 24 Oktober 2009

0 komentar:

Posting Komentar