30/10/2009 19:09
Bivitri Susanti
Perkembangan aksi pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini semakin memprihatinkan. Rentetan peristiwanya bergulir seperti bola salju. Awalnya dengan menyatakan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, sebagai tersangka. Kemudian bagian dari orang-orang yang protes juga dijadikan tersangka pencemaran nama baik: Illian Deta Arta Sari dan Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW ). Meski bukan terkait soal KPK, waktu penetapan dan prosedur yang tidak jelas sebelumnya dapat dengan mudah diasosiasikan dengan aktivitas yang mereka lakukan dalam pemberantasan korupsi. Dan, Kamis (29/10), akhirnya Chandra dan Bibit ditahan. Ini sekadar menyebut beberapa peristiwa besar yang bisa jadi batu penanda.
Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: ada apa dengan SBY? Bukan, persoalannya bukan pada Polri, pada Kejaksaan Agung atau pada KPK. Masalah terletak pada SBY. Jalannya pemerintahan itu seperti konser musik. Ada para pemain musik sesuai instrumen masing-masing dan ada konduktornya. Pemimpin yang memberi aba-aba dan membuat permainan musik menjadi harmoni yang indah. Segala rupa kekacauan di jajaran pemerintahan ini, mestinya diberesi oleh presidennya.
Betul, presiden tidak boleh campur-tangan dalam proses hukum. Dalam penjelasan resminya, Jumat (30/10) sore, SBY menyatakan perlunya "supremasi hukum" yang membuatnya tidak bisa mencampuri urusan penegakan hukum. Tapi supremasi hukum selalu bisa dibenturkan dengan keadilan: supremasi hukum yang adil. Dan, salah satu hal penting dalam menegakkan supremasi hukum yang adil adalah kejelasan dalam setiap tindakan yang dilakukan penegakan hukum. Ini yang luput dijelaskan oleh SBY.
Cukup terang-benderang bahwa penahanan terhadap Chandra dan Bibit tidak didasarkan pada alasan yang valid. Bagaimana mungkin membentuk opini publik menjadi alasan penahanan dalam sebuah negara yang mengaku menghormati kebebasan berbicara?! Bila soalnya adalah kemungkinan melarikan diri, kepatuhan melapor yang selama ini dilakukan Chandra dan Bibit seharusnya memperlihatkan mustahilnya mereka melarikan diri. Apalagi, dimensi politik kasus ini demikian besar dan mereka cukup rasional untuk tidak membuatnya bertambah keruh.
Tapi, ini juga bukan soal Chandra dan Bibit. Ini soal SBY. Ia dipilih untuk kedua kalinya karena dianggap mampu melakukan pemberantasan korupsi. Namun, benarkah ia masih mau berkomitmen memberantas korupsi? Presiden bisa dan berwenang untuk memperjelas kekisruhan langkah-langkah KPK ini. Bila demikian besar gelombang yang mengarah pada tidak profesionalnya Kepolisian dan Kejaksaan, bukankah seorang presiden yang bijak semestinya mulai menggali opini alternatif (second opinion) dan mulai mencari solusi masalah?! Jangan hanya menutupi dan mencuci tangan atas nama supremasi hukum.
Sudut lain yang bisa dilihat untuk mengukur komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi adalah orang-orang yang dipilihnya dalam kabinet maupun lembaga lain yang masih berada di dalam lingkar kekuasaannya. Polemik Buaya dan Cicak, yang belakangan ditambah dengan Godzila oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, seharusnya membuat SBY mengevaluasi para pembantu di dalam kabinetnya untuk masa jabatannya yang kedua ini. Reformasi penegakan hukum di tubuh Kejaksaan yang berjalan tersendat, ditambah huru-hara Buaya-Cicak-Godzila, membuat kita bertanya-tanya, mengapa Jaksa Agung justru dipertahankan dalam susunan kabinet ini?
Yang tak kalah menarik. Posisi SBY sekarang sebenarnya mirip dengan posisi Suharto dulu. Jabatan strukturalnya di dalam partai bisa saja dibuat tidak menonjol. Tapi tidak ada yang bisa memungkiri bahwa Partai Demokrat adalah SBY dan SBY adalah Partai Demokrat.
Dengan peraihan kursi mayoritas di DPR ditambah dengan koalisinya dalam pemilihan presiden, SBY memegang kekuasaan amat besar. Ketua DPR menurut undang-undang memang harus berasal dari partai mayoritas. Perlu dicatat, Ketua DPR Marzuki Alie adalah "mantan tersangka" dalam kasus korupsi PT Semen Baturaja. Ia memang tidak pernah dijerat hukum. Sebab penyelidikan terhadapnya dihentikan tak lama setelah ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Maka, sebagai pemercaya negara hukum, kita harus bilang bahwa ia memang bukan koruptor. Ia hanya mantan tersangka yang kasusnya tak pernah tuntas diselidiki untuk alasan politis. Dan, sebagai Ketua DPR, ia mulai memainkan peran untuk "mengharmoniskan hubungan" antara pemerintah dan presiden dengan membatalkan beberapa rapat pengawasan yang dijadwalkan komisi-komisi.
Mengapa saya menyinggung soal DPR ketika berbicara soal pemberantasan korupsi? Ada dua sebab. Pertama, saya ingin menunjukkan lebih jauh pilihan-pilihan yang "tidak anti-korupsi" yang bisa dilakukan SBY. Padahal kita tahu kondisi korupsi di DPR sendiri membutuhkan ketua yang strategis. Kedua, selain relasi antar-partai dalam kabinet yang harmonis, pemerintah SBY jilid dua ini juga rupanya didesain untuk disokong oleh parlemen yang "manis". Kebijakan pemerintah semestinya diawasi DPR. Dengan konfigurasi DPR sekarang, niscaya pengawasan ini akan sangat melemah dan kebijakan yang koruptif tidak akan mendapat perlawanan berarti.
Bagi sebuah pemerintahan yang menjual citra, pemberantasan korupsi barangkali memang hanya penting pada awal masa kekuasaan. Yang terpenting saat ini adalah pemerintahan yang stabil, dalam arti tanpa diwarnai oposisi yang berarti. Pemberantasan korupsi yang terlampau serius, tentu saja bisa menjadi batu sandungan bagi pemerintahan ini.
Tapi apa betul kita mesti bilang selamat tinggal pemberantasan korupsi? Jika masa pemerintahan kedua SBY ini diprediksi loyo dalam pemberantasan korupsi, bukankah masih ada "orang-orang biasa"? Dalam bahasa inteleknya bisa kita sebut "masyarakat sipil": mereka bergerak bersama di ranah publik berdasarkan sebuah shared value. Mungkin suaranya tak nyaring, tapi kelompok ini bisa cukup kuat, bila mau, dalam menyeimbangkan perilaku pemerintah yang mulai keluar rel. Kelompok ini adalah saya dan Anda: orang-orang yang tidak berada di ranah politik, tapi tetap punya suara dan aksi. Maka, kita harus memilih: mengucapkan selamat tinggal korupsi atau selamat tinggal pemberantasan korupsi. Saya memilih yang pertama.
Cicak Nguntal Boyo (Cicak Telan Buaya)
15 tahun yang lalu
1 komentar:
hidup KPK
Posting Komentar