Oleh Teten Masduki
Kau seperti bis kota atau truk gandengan
Mentang-mentang paling besar klakson sembarangan
Aku seperti bemo atau sendal jepit
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?
Kau seperti buaya atau dinosaurus
Mentang-mentang menakutkan makan sembarangan
Aku seperti cicak atau kadal buntung
Tubuhku kecil merenghil sulit dapat untung
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?
Mengapa besar selalu menang?
Bebas berbuat sewenang-wenang
Mengapa kecil s’lalu tersingkir?
Harus mengalah dan menyingkir
Apa bedanya besar dan kecil?
Semua itu hanya sebutan
Ya, walau di dalam kehidupan
Kenyataannya harus ada besar dan kecil
Lirik lagu “besar dan kecil” yang ditulis Iwan Fals dan Naniel pada tahun 1992 itu barangkali tetap relevan untuk mengekspresikan perasaaan keadilan masyarakat saat ini yang tengah terluka oleh kepongahan penguasa. Rakyat yang sedang marah karena KPK, simbol perlawan-an korupsi, tengah dianiaya.
Saya tidak tahu apakah lagu itu juga yang mengilhami Kabareskrim Polri Susno Duaji yang melontarkan istilah, “Cicak kok berani melawan buaya”, saat dirinya mengetahui tersadap oleh KPK ketika menelepon seseorang dalam upaya pencairan deposito di Bank Century setelah ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Inilah yang dicurigai publik sebagai cikal bakal rekayasa kriminalisasi terhadap terhadap Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, selain kasus dugaan suap Miranda Gultom dalam pemilihan Deputi Gubernur BI.
Kecurigaan publik dipicu oleh inkonsistensi tudingan polisi, mulai dari tuduhan menerima suap, lalu berubah dengan tuding-an pemerasan, dan lalu berubah lagi dengan tudingan penyalahgunaan wewenang karena melakukan pencekalan terhadap Anggoro dan Djoko Chandra, yang tengah diselidiki KPK. Para ahli hukum menilai pemidanaan dua pimpinan KPK itu memiliki kelemahan secara substansial dan faktual yang tidak layak diteruskan ke pengadilan. Anggoro, pemilik PT Masaro, adalah buronan KPK yang diduga melakukan korupsi dalam peng-adaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan.
Persekongkolan jahat para mafioso per-adilan itu menjadi gamblang ketika Mahkamah Konstitusi mengukir sejarah baru, dengan membuka rekaman hasil sadapan KPK terhadap Anggodo, adik Anggoro, yang transkripnya sudah beredar di masyarakat. Gelombang dukungan publik terhadap KPK tak terelakkan. Tidak perlu turun berdemo di jalanan, para Facebooker tampil menjadi “parlemen online” yang berpengaruh.
Nada dering “KPK Di Dadaku” gubahan komunitas Cicak (Cinta Indonesia, Cinta KPK) dari lagu Netral, yang dibawakan oleh Fariz RM, Once, Netral, Cholil Efek Rumah Kaca, dan Kadri dan Jimmo dari Kadri Jimmo The Prinzes of Rhythm (KJP) kemudian diluncurkan untuk meyakinkan agar pemuda Indonesia tidak menyerah dalam kubangan korupsi di rezim otoritarian plus pencitraan ini, dan “kebenaran pasti menang”.
Konser musik ”indonesia sehat Lawan Korupsi”, yang melibatkan Slank, KJP-Debby Nasution, Efek Rumah Kaca, Oppie Andaresta, Once dan Erwin Gutawa menyusul kemudian pada 8 November 2009 di Bundaran HI dan diha-diri dua ribuan masa, barangkali adalah salah satu konser musik antikorupsi termegah dan berkualitas dari segi acara, dan substansi pesan.
Kesaksian dan ekspresi perlawanan musisi dan budayawan bukan fenomena baru. WS Renda menciptakan puisi dan dibawakan oleh Kantata Takwa, mengenai mereka yang dihinakan, tanpa daya, dan orang-orang yang harus dibangunkan. Kenyataan harus dikabarkan serta bagaimana bernyanyi untuk menjadi saksi. Jangan lupa tentang kampanye budaya jijay (jijik) Slank terhadap korupsi di kalangan anak muda, selain ledekan melalui lagu “Seperti Koruptor”.
“Maling Budiman” karya Orkes Sinten Remen pimpinan Djaduk Ferianto menyindir mafia peradilan dengan sangat lucu: “Maling di negeriku, hidupnya terjamin/Inginnya ditangkap, tapi kok lucunya/Yang menangkap juga maling/Maling di negeriku, hidupnya terjamin/Maunya dihukum, tapi nggak tahunya/Yang menghukum juga maling.”
Di akhir ‘70-an, Mogi Darusman menyanyikan lagu “Rayap-Rayap” yang berbaju resmi dan merongrong tiang negara, serta babi-babi gemuk yang dengan tenang memakan kota dan desa. Bimbo dengan lagu “Tante Sun” menertawakan istri pejabat yang hedonis. Sebelumnya, di tahun 1976 Benny Soebardja bersama Giant Step bahkan telah mengangkat tema sosial, politik dan lingkungan dalam abumnya, Giant on the Move, dengan lagu seperti “Air Pollution” dan “Decision”. Sayangnya disampaikan dalam lirik berbahasa Inggris yang jangkauannya terbatas.
Di dalam karya sastra, kesaksian soal korupsi bisa kita jejaki dalam novel Max Havelar karangan Multatuli, dan “Hikayat Kadiroen ditulis Semaoen”. Di tahun 1950, Pramudya menulis sebuah novel yang berjudul “Korupsi”. Novel ini berkisah tentang pejabat negara yang masuk dalam perangkap korupsi, berlatar revolusi pada masa pemerintahan Orde Lama. Novel itu pernah menyebabkan Pramoedya memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan pemerintah-an Soekarno saat itu.
Ahmad Tohari menulis “Orang-orang Proyek” yang berlatar waktu pada masa Orde Baru, bercerita tentang “permainan” dalam proyek pembuatan jembatan lewat tokoh seorang insinyur kepala proyek yang juga mantan aktivis kampus.
Saat ini dalam kasus Cicak vs Buaya, perlawanan kian mengerucut. Rakyat bersama KPK berseberangan dengan Presiden SBY yang bersama DPR berada di belakang polisi dan jaksa. Bukan seperti Gubernur Jenderal Hongkong yang berada di belakang ICAC (Independent Commision Against Corruption) saat berseteru dengan polisi pada tahun 1970-an.
Mungkin Presiden lupa pernah berjanji saat Pemilu 2009 akan membasmi korupsi. Mungkin Pak SBY harus mendengarkan lagu “Mosi Tidak Percaya”, kesaksian politis band Efek Rumah Kaca, saat kampanye untuk tidak memilih politisi busuk: ”Kamu ciderai janji, luka belum terobati/Kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli/Janjimu pelan-pelan akan menelanmu”.
Perseteruan Polisi dan KPK memasuki ranah sosial-politik, sesuatu yang tak terhindarkan karena krisis kepercayaan masya-rakat terhadap pemerintah. Ini kemudian berbuah dengan dibentuknya Tim Delapan untuk memverifikasi adanya rekayasa kriminalisasi itu. Presiden dalam pertemuan dengan saya, Komarudin Hidayat, Anis Baswedan dan Hikmahanto Juwana di Wisma Negara, Minggu malam (1 November 2009) menyatakan, Tim 8 bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan hukum konflik Polisi dan KPK. Saya menolak masuk dalam tim itu, karena saya menyadari banyak hal dari kasus ini yang perlu didinamisasi melalui gerakan sosial. Dan seperti yang sudah diduga, Tim 8 akhirnya menyimpulkan polisi tidak cukup fakta dan alasan hukum yang cukup untuk diteruskan ke pengadilan.
Banyak yang bertanya apakah ini merupakan perlawanan balik koruptor? Meski kita belum puas, KPK yang lahir dari rahim reformasi sedikit banyak telah mengganggu rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi yang berbasis pada patroanase politik dan bisnis, meski belum berani terbuka mengusut sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu, KPK juga telah mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret koruptor ke penjara, meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat-rapat dengan alasan klasik tidak cukup bukti.
Perdagangan pengaruh politik untuk mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah menjadi kacau balau ketika para elit politik tidak bisa melindungi klien mereka. Bahkan politisi busuk di DPR mulai dikirim KPK ke bui, yang sesungguhnya kalau KPK lebih berani, dalam catatan saya, hampir separuh anggota DPR potensial dijebloskan ke penjara dari sejumlah kasus yang ditangani KPK.
Demokratisasi politik sejak 1997 harus di-akui belum berhasil mengusir rezim korupsi, yang semakin mendapat tempat belakangan ketika demokratisasi digerakkan oleh politik uang. Rakyat yang sudah tidak percaya de-ngan janji politik lebih senang dengan dengan pemberian langsung bukan kebijakan umum yang baik.
Di mata awam, korupsi memang bukan ras penjajah yang kasat mata. Bukan pula sebuah ideologi, meski korupsi akan mencari jalannya sendiri, mereproduksi sistem nilai dan membangun kleptokrasi, peme-rintahan yang dipimpin para maling. Kadang terlihat kadang tidak, seperti koloni rayap yang diam-diam mengerat struktur bangunan kayu dan tahu-tahu ambruk. Dan pengaruhnya yang luar biasa, bisa menggoda siapa saja, sesuatu yang sulit mewujud jadi musuh bersama.
Sosiolog tersohor Samuel Huntington (1987) pernah terang-terangan menuduh budaya suka memberi hadiah di masyarakat Asia menyuburkan praktek suap. Tapi pendapat ini dibantah tuntas oleh Syed Hussein Alatas (1987), sosiolog Malaysia kelahiran Indonesia yang sepanjang kariernya menekuni masalah korupsi, dalam memahami sebab-sebab korup-si di masyarakat Asia.
Alatas mencatat secara beberapa faktor penting, yaitu peranan Perang Dunia Ke-dua, pemerintahan kolonial, birokrasi patrimonial dan sistem penggajian pegawai negeri. Alatas meyakini bahwa faktor sejarah dan lingkung-an yang khusus jauh lebih bisa menjelaskan tumbuhnya korupsi dari penjelasan melalui kebudayaan. Feno-menologi kebiasaan sa-ling memberi hadiah itu sejatinya tidak berhubungan dengan pengambilan keputusan atau suap. Pemberian hadiah tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi seperti dalam transaksi yang korup, tetapi merupakan pe-ristiwa kolektif melalui upacara.
Pemberian kartu keanggotaan klub golf atau memberi mobil mewah memang tidak dikenal dalam masyarakat pra-modern. Tetapi gratifikasi, yaitu pemberian ha-diah kepada pejabat dengan nilai uang yang dapat ditolerir dan tidak mempengauhi pengambil kebijakan, justru sudah lama dilegalkan di negara-negara maju seperti Amerika Se-rikat sekalipun, yang bukan metamorfosis dari pemerintahan tradi-sional.
Korupsi belum dikenal dalam sistem ke-rajaan, karena dalam sistem kerajaan tidak ada perbedaan antara milik raja dan pu-blik. Korupsi baru dikenal dalam organisasi peme-rintahan modern. Banyak ahli seperti Clive Day (1966) yang justru menyorot pe-ran VOC dan pemerintahan kolonial yang memperkenalkan tradisi korupsi di sini, sebelum Indonesia mengenal sistem peme-rintahan modern. Dalam hal ini yang pen-ting disebut adalah penyuapan para priyayi jawa untuk mendapatkan kedudukan yang dibagi-bagikan pejabat Belanda menyusul pergantian sistem penggajian tradisional dan perluasan pungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan hasilnya. VOC sendiri bangkrut karena praktek korup-si yang meluas di perusahaan perdagangan itu (Boxer, 1983).
Sejarawan Sartono Kartodirdjo (2005) menyorot pada akar birokrasi semi feodal dan legal rasional pada zaman kolonial. Saat itu korupsi yang lebih dikenal sebagai malversasi di kalangan bupati (aristokrasi) berhubung-an dengan kebudayaan politik otoritariter dan feodalisasi yang diperta-hankan hingga akhir abad ke-19, bahkan sampai akhir masa Belanda untuk melestarikan kepenting-an kapitalis kolonial.
Namun Soemarsaid Moertono (1963) mencatat sistem salary- financing era Mata-ram dalam bentuk hak milik berupa tanah garapan yang diberikan kepada pejabat sesuai dengan kedudukannya. Dari tanah garapan itu diharapkan ia bisa mengongkosi semua pengeluaran yang bertalian de-ngan pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Sistem ini secara tradisi melahirkan pe-nyimpangan pengelolaan negara karena tidak ada pemisahan antara uang pemerintah dan milik pribadi.
Sistem penggajian pegawai negeri saat ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan penggajian zaman Mataram itu. Birokrat tidak digaji dengan cukup, tetapi diberi kekuasaan yang sangat besar, dan dari kekuasaannya itulah mereka dapat menutup gajinya yang kecil. Jadi tidak aneh memang sektor publik sangat favorit di kalangan pencari kerja, meski gaji pegawai negeri itu pas-pasan.
Tidak heran pula, kalau jabatan publik itu acap dikendurikan sebagai anugerah dari atas, bukan mandat publik yang harus dipertanggungjawabkan. Menarik sumbang-an dan pungutan dari masyarakat dianggap sah karena pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai milik pribadi. Diskresi seorang pejabat lebih fungsional daripada aturan atau undang-undang. Pendek kata, menggunakan sarana publik untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kampanye partai yang didukungnya dianggap sesuatu yang lumrah, bukan penyimpangan. Pelembagaan istri-istri pejabat yang dimulai era Orde Baru dan terus dilestarikan sampai sekarang, dalam tingkat tertentu perilaku istri pejabat itu memiliki kekuasaan yang melekat pada jabatan suaminya
Clifford Geerzt (1960) juga pernah menyorot masalah terus berlanjutnya nilai-nilai patrimonial dikaitkan dengan latar belakang pejabat pada awal-awal kemerdekaan yang sebagian besar dididik dalam nilai-nilai desa secara tradisional.
Watak mayoritas pejabat dan petinggi negara kita sekarang memang tidak jauh berbeda dengan kaum ningrat di masa lalu. Pengayoman politik terhadap bisnis yang melahirkan konglomerasi dan korupsi politik di puncak-puncak kekuasaan politik, birokrasi dan ekonomi yang masif pada Orde Baru, dan berusaha menyesuaikan diri dalam situasi fragmentasi politik saat ini barangkali tidak jauh berbeda dengan kerjasama kaum ningrat tradisonal de-ngan VOC atau penguasa kolonial saat itu. Eksploitasi atas sumber-sumber daya alam dan ekonomi yang melimpah, tidak serta melahirkan kemajuan dan kemakmuran rakyat.
Mengusir korupsi barangkali bisa disederhanakan sebagai perjuangan untuk keluar dari pengaruh oligarki elit untuk melapangkan jalan bagi pemerintahan yang modern. Dan dalam sistem rekruitmen politik yang sangat ditentukan oleh kekuatan uang seperti saat ini, rasanya perjuangan ke arah itu masih merupakan jalan yang cukup panjang. Tapi selalu ada jalan pintas, jika mau.
Melawan korupsi memang merupakan peperangan panjang. Lagu “Negeriku Cintaku” dari Debby Nasution-Erros Djarot yang dibawakan KJP-Debby Nasution dalam konser “Indonesia Sehat Lawan Korupsi”, menyerukan kepada kita:
“Bersatulah resahku resahmu dalam simfoni/terdengar bunyi bunyi sumbang tak menentu mengusik kalbu/geram kulihat betapa nikmatnya seorang yang duduk di sana/menghisap cerutu tak mau tahu akan derita/Oh, betapa kasihan melihat si miskin kelaparan/tak seorangpun yang mau tahu akan umat kita yang melarat/tidakkah kau tega melihatnya merangkak/Hei kaum muda masa kini/Kita berantaslah korupsi/jangan membiarkan mereka/menganiayai hati kita/akan kucari jalan kembali/menuju negeri damai sentausa/Oh negeriku negeri cintaku/kembalilah wajah ayumu/kan kuciptakan damai di bumi/Seperti yang dirintis dahulu/Semoga Tuhan memberkahi kita semua/dalam kedamaian/suci insan Indonesia dalam kedamaian/Hidup rukun dan sejahtera dalam kedamaian.”
Sumber : Majalah Rolling Stone Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar