Mug
Cara sosialisasi menggunakan mug atau cangkir beberapa waktu terakhir dilakukan Indonesia ICW. Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lain, seperti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan atau digarap sendiri, semula mug mengusung tema ”Cicak” atau Cintai Indonesia Cintai Antikorupsi. Mengambil momen kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sebagai media advokasi pemberantasan korupsi, mug warna putih bergambar Cicak diluncurkan.
Mug
Illian Deta Arta Sari, aktivis ICW, mengungkapkan, salah satu peran ICW dalam pemberantasan korupsi adalah melalui advokasi dan sosialisasi kepada masyarakat. ”Banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya melalui barang semacam ini,” katanya.
Barang itu adalah pin, mug, dan kaus. Mug menjadi favorit karena harganya terjangkau, yakni Rp 25.000-Rp 30.000, dan desain beragam. Kaus harganya Rp 55.000-Rp 60.000, antara lain bertuliskan ”Rakyat Dibungkam Demokrasi Mati” dan ”Tidak Takut Bicara” pun laku.
Desain mug berkembang. Isu yang diusung bertambah, di antaranya penolakan tentang pembungkaman, adili koruptor, tragedi Mei 1998, dan pengungkapan pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir. Gambar dan tulisan yang dicetak di permukaan mug berasal dari beragam sumber, seperti foto, mural, dan karikatur. ”Banyak yang memberikan karyanya secara gratis. Niatnya sama, dedikasi untuk perjuangan bersama,” kata Illian.
Mereka yang sukarela memberikan desainnya, antara lain Andika Gunadarma untuk Cicak, Ismail memberikan beberapa seri komik dengan tokoh Sukribo, Arief Adityawarman untuk Tragedi Mei 1998, dan Suciwati untuk foto almarhum suaminya, Munir.
Hingga saat ini, setidaknya ada 20 desain mug dan 14 desain kaus yang digunakan untuk mengajak masyarakat menyatakan sikap. Bentuk dan koleksi mug kian beragam dan berwarna-warni, begitu juga dengan kaus. Meski demikian, Illian menampik penjualan mug dan kaus itu berorientasi bisnis.
”Cara apa pun dapat digunakan untuk menggugah kesadaran masyarakat. Ini salah satunya. Siapa pun dapat ikut serta. Bersyukur, banyak yang tertarik berperan,” ujar Illian.
Ismail, dengan tokoh karyanya bernama Sukribo dan muncul setiap hari Minggu di harian Kompas, menyebutkan, ia tidak mempermasalahkan karyanya yang dicetak di mug oleh ICW. Baginya, perannya dalam memperjuangkan Indonesia yang lebih baik dapat melalui berbagai cara, termasuk mempersilakan karyanya dicetak di mug.
”Sepanjang untuk kebaikan, tidak masalah. Saya kan tidak mungkin berjuang, misalnya dalam pemberantasan korupsi dengan cara seperti teman-teman itu. Uang juga tidak ada. Saya bisa gambar, ya itu yang saya bisa,” kata Ismail, Selasa (26/1).
Ismail sempat menjawab lupa saat ditanya, berapa banyak karyanya yang dicetak di mug dan digunakan sebagai sarana advokasi masyarakat itu. ”Berapa, ya? Mungkin tujuh,” ujarnya.
Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI, adalah salah satu pembeli mug yang dijual ICW. Ia tertarik membeli karena mug itu bukan sekadar mug seperti yang dijual di toko.
”Mug itu seperti simbol sikap, semangat, atau perjuangan kita. Misalnya, memuat hal-hal yang sedang didesakkan saat ini dan mengingatkan kita terhadap sesuatu,” kata dia.
Jaleswari yang banyak menyikapi secara kritis soal pertahanan mengaku membeli 15 mug, yang harga satuannya Rp 25.000. Sebanyak 10 mug bertema Tragedi Mei 1998 dan lima mug bertema Cicak. Selain menunjukkan sikap, membeli mug juga menjadi bentuk dukungan finansial terhadap perjuangan yang saat ini sedang dilakukan. ”Sosialisasi gagasan perlu dana,” paparnya.